Adakah yang lebih indah dari senyuman?
Siapa tak membuncah hati tatkala satu orang, dua orang , bahkan semua orang yang bertemu kita menyunggingkan senyumnya? Senyum adalah gerbang kehidupan, saat kita terlahir ke dunia, semua yang ada di sekitar kita mekar indah wajahnya dalam senyum dan bahagia. Ibu kita, ayah kita, bidan dan dokter kita bahkan semua yang menjenguk kita di hari kelahiran semuanya gembira.
Setiap cerita tumbuh kembang kita disambut dengan senyuman, saat tangan kita yang ringkih mulai mampu menggenggam tangan orang dewasa, serumah pun bahagia. Saat kaki kita mulai mampu berjalan semua bersorai memuji hebatnya kita. Sampai-sampai vas bunga pecah tak ada yang mensorakkan amarah.
Senyum adalah BAHASA. Dengan inilah kita mampu bercengkrama walau saat bayi belum bisa bicara. Inilah pula bahasa yang dapat menyatukan kita di antara masyarakat dunia walau kita belum fasih bahasa mereka. Inilah bahasa yang menyatukan Ahmad dari Aceh dan Velix dari Papua, yang mempersaudarakan antara James dari Amerika dan Lee dari Cina.
Inilah BAHASA DUNIA…Bahasa yang tak memerlukan aksara! Maka mengapa kita masih tak suka tersenyum saudaraku? Mengapa barang satu ini ikut-ikutan sembako yang makin hari semakin mahal, atau ikut-ikutan elang Jawa yang semakin langka?
Padahal kita mengaku mengidolakan Rasulullah, yang mana Abdullah bin Al-Harist radliyallahu’anhu menuturkan,”Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam “. (Riwayat At-Tirmidzi). Diriwayatkan pula dari Jabir ra. Ia berpendapat tentang Rasulullah,”Sejak aku masuk Islam, Rasulullah tidak pernah menghindar dariku, ia tidak melihatku kecuali dengan tersenyum kapadaku.”
Tapi bagaimana dengan hari ini?
Kita kini hidup dalam dunia syakwasangka, penuh kecemburuan dan kecurigaan. Dalam lingkungan yang tak ramah senyuman. Untuk mendapatkan sebuah hadiah senyum, kita harus membelinya di pesawat terbang antar negara, di hotel mewah yang berdollar-dollar harga menginapnya. Semua menjadi komersil dan berbiaya..Seberapa panjangkah usia kantong kita untuk menukarnya?
Akankah kita tidak berubah?
Bukankah kita terlahir dari ibu yang sama, ibu bernama INDONESIA..Inilah tanah air beta..tanah tumpah darah sekaligus tanah bumi cita-cita. Jangan sampai bumi yang kita pijak ini kelak bersaksi di makhsyar-Nya dan berkata, “Ya Rabbanaa! Aku telah bersabar jutaan tahun menahan semua beban tapi sungguh aku tak mampu bersabar jika melihat manusia selalu masam mukanya apalagi kepada saudaranya.Tubuhku semakin ringkih bukan karena himpitan beton dan bangunan, tapi karena sedih begitu banyak yang berselisih, yang semakin pelit walau sekedar bersedekah senyuman“
Ide besarnya adalah bagaimana kita mampu merancang kehidupan ini menuju sebuah terminal akhir yang baik, dengan senyuman terindah yang dikenang sepanjang zaman. Kita menghadap klien saja harus persiapan sangat matang apalagi kita harus menghadap-Nya. Disinilah kreativitas menemukan bentuk sebenarnya, bukan sekedar dalam kemasan keindahan namun juga kesebangunan antara mind, body & soul. Semuanya menyatu menjadi kepribadian.
Semoga setiap kita benar-benar dikabulkan berjumpa Allah dan Rasulullah kelak di surga-Nya. Tempat terindah yang mata, hidung, telinga, bahkan desir hati tak mampu mengindera keelokannya. Bayangkan Rasulullah memanggil kita dan senyumnya mengembang membuat badan kita bergetar tak percaya, begitu indah senyumnya, indah rupanya..mulia segalanya
Saatnya terus menyempurnakan jiwa, membumikan kalam-Nya dalam wajah berseri saling sapa saling cinta, dari gelap menuju cahaya..