Kadang saya penasaran, apa benar tulisan-tulisan saya dibaca, termasuk di media ini? Mengapa perasaan itu hinggap untuk dipertanyakan karena kita ketahui bersama tren mengkonsumsi media telah berubah. Anak-anak muda dan yang katanya merasa muda sekarang lebih akrab dengan twitter, youtube, instagram dan sejenisnya. Mereka memang makin rajin membaca, tapi dalam selintasan karakter yang terbatas.
Jadi dalam kebijakan redaksi hari ini, menentukan judul bisa jadi jauh lebih penting daripada isinya, karena dengan begitu bejibunnya informasi masuk ke perangkat komunikasi kita, masyarakat sering hanya membaca judulnya daripada isinya. Ditambah lagi sebagian kita kadang juga tak cukup antusias membaca link website dari tautan yang disebut dalam twitter atau social media lainnya. Kemalasan ini akan berlipat kuadrat ketika kita lihat jaringan seluler kita tak kunjung berlari cepat sebagaimana yang dikampanyekan dalam iklan-iklannya.
Dulu ketika masih menjadi pemred majalah, saya sering cerewet mengapa pada pelit banget kalau menulis, padahal space masih banyak, sekarang justru ketika jadi pemred di media online saya harus wanti-wanti meminta redaksi agar tak menulis satu posting lebih dari 40 detik jika dibaca, kecuali “terpaksa”. Ya mungkin sekitar 4-5 paragraf lah. Mau lebih 5 paragraf juga tak masalah asal kita membantu pembaca dengan isi paragraf yang pendek-pendek, memang agak menyelisihi ajaran guru bahasa Indonesia zaman dulu, tapi begitulah realitanya, kita harus membuat para pembaca nyaman sehingga bisa lebih banyak mengeksplorasi menu dari website kita.
Media kini tak lagi terdefinisikan dalam bentuk majalah, koran, televisi, radio dan sejenisnya. Kini setiap kita adalah media, yang mampu dengan sangat mudah memproduksi dan mendistribusi pesan melalui beragam fasilitas teknologi komunikasi. Bahkan hanya dengan sebuah tagar/hashtag (#) kita bisa dengan mudah menjadi bagian dari sebuah pesan, yang menariknya bisa begitu cepat dan mudah saling berinteraksi. Cukup dengan #SaveEgypt atau #R4BIA misalnya, kita telah menjadi bagian besar dalam sebuah media demontrasi berskala global, simbol # kini menjadi semacam shaf dalam shalat yang akan menggiring seberapa banyak barisan yang berjamaah. Untuk menjadi pengelola media kita juga tidak harus menjadi seorang kaya raya (walaupun ternyata itu perlu juga), tapi cukup dengan simbol @ diikuti nama kita atau gerakan kita, jadilah kita pemilik media sekaligus pemimpin pergerakan.
Sayangnya kita belum boleh bernafas cukup puas hanya dengan memiliki akun saja, betul kita bisa menulis teks dan mengirim foto, video, suara, kapan saja berapa saja. Namun penting kiranya untuk kita juga benar-benar memiliki dan menguasai media baik dalam pengertian media offline, online maupun konverjensi dari keduanya. Hasil riset dari Merlyna Lim bekerjasama dengan Ford Foundation, 2011, menyatakan bahwa 97% masyarakat Indonesia masih mengakses televisi untuk mendapatkan informasi berita. Artinya jika kita ingin menguasai informasi, jaringan “media konvensional” seperti tv pun tetap harus dimiliki, melengkapi media online yang semakin tumbuh menjadi gaya hidup baru.
Dalam ekosistem industri pertelevisian sendiri ada 4 ranah yang bisa dipilih, masing-masingnya tak bisa dipandang sebelah mata.
- 1. Distributors
Ini adalah wilayahnya para pengelola jaringan telekomunikasi, mulai seluler, kabel, satelit dan sejenisnya. Merekalah yang bertanggung jawab sebagai ‘kurir’ yang mentransmisikan isi siaran sehingga bisa dinikmati oleh pemirsa.
- 2. Content Owners
Pemain di ranah ini adalah stasiun televisi dan studio-studio produksi. Dari merekalah kita menikmati layanan program siaran baik berita maupun non berita. Dalam praktiknya selain memproduksi sendiri (in house), stasiun televisi juga menggunakan jasa dari suplier konten baik dari studio film, rumah produksi maupun rekanan konten yang lain.
- 3. Device Manufactures
Pengisi ekosistem ketiga adalah perusahaan-perusahaan produsen pesawat televisi dan perangkat penunjangnya misal Set Top Box, perangkat audio, video player, antena dan sebagainya. Tanpa alat-alat ini sehebat apapun konten televisi tak akan mampu dinikmati pemirsa. Kini HDTV makin marak dengan harga semakin terjangkau. Sekarang nonton TV juga bisa sambil berselancar internet, tinggal sambungkan dengan wifi pesawat TV pun berubah menjadi seperti komputer tablet berlayar besar.
- 4. Service Innovators
Tak kalah pentingnya kini perusahaan berikut layanan digitalnya seperti Google, Youtube, Vimeo, Dailymotion, kanal-kanal penyedia video live streaming dan lainnya telah menjadi pendukung berkembangnya interaksi digital yang tak hanya membantu masyarakat melakukan sharing konten digital namun juga menjadi saluran teknologi baru bagi stasiun televisi mengembangkan siarannya.
Untuk itulah mari kita berbagi peran, imposible is nothing, kata sebuah portal. Saya teringat Bambang. Pipinya yang cekung berpadu dengan rahang memanjang plus tatapan mata misterius membuat kami-kami di kantor khawatir dia akan menjadi psikopat. Untungnya anak muda yang menjadi office boy di kantor saya ini walaupun pendiam tak sedang merancang racikan bom, suatu hari saya benar-benar kaget menemukan buku hariannya yang ia tulis tangan dengan beberapa kali berbeda warna karena habis pulpennya. Isinya menakjubkan, berupa rangkaian naskah cerita yang begitu panjang. Berlembar-lembar ditulisnya sampai hampir memenuhi satu buku. Bambang menulis setelah jam dinasnya selesai, sambil kadang ikut jaga kantor di waktu malam.
Kini setelah kami merintis rumah produksi dan stasiun tv, Bambang kami ajarkan cara menulis script menggunakan software, beberapa kali harus kami koreksi namun dia nampak bersemangat. Kini pagi-pagi Bambang memegang sapu dan gagang pel, malamnya belajar menggunakan software baru, gak tanggung-tanggung belajar langsung dengan iMac. Saya yakin bakatnya akan mengantarkannya pada sebuah pencapaian yang lebih baik, siapa tahu benar-benar jadi penulis besar.
Jika Bambang bisa, saya yakin Anda semua juga bisa..inilah saatnya mencoba lompat kuadran dari sekedar konsumen menjadi produsen informasi.