APA KABAR, GURU

Saya tiba-tiba ingin menulis tentang seseorang. Ia ada dalam majalah ini sebagai sesama penulis kolom tetap, pak Adhy Trisnanto orangnya. Kalau beliau bertanya, “Lho kok ada nama saya?” Ya, saya akan tertawa saja, kan sebagai penulis kita diberi kewenangan untuk menulis apa saja.

Mungkin sudah tujuh tahunan saya mulai berinteraksi dengan beliau, sebagai salah satu tokoh terkemuka di bidang marketing komunikasi tentu sebuah anugerah bisa belajar banyak langsung dari pakarnya. Dari beliau saya banyak belajar tentang bagaimana sebuah eksekusi kreatif harus berangkat dari ide yang kuat, yang tidak melompat-lompat, walaupun pada dasarnya itu bisa. Mungkin layaknya seorang master kungfu beliau mengajarkan bahwa berlatih bukan sekedar bagaimana menguasai jurus andalan namun juga sebuah levelling proses yang penting untuk dilewati satu persatu. Bisa sih jurus pamungkas langsung diturunkan, tapi otot kita bisa langsung kejepit karena tak kuasa menerima ajian terlalu berat tanpa pemanasan dan latihan yang padat.

Suatu kali kami berdiskusi untuk sebuah rumusan komunikasi kreatif. Dasar saya yang suka bermain dengan kata-kata, saya lebih tertarik dengan langsung mengarang tagline. Pak Adhy pun mengingatkan, “Tagline itu ujung, temukan dulu ide besarnya!” Beliau sepertinya ingin mencegah terulangnya banyak kampanye bertabur jargon namun minim isi. Kelihatannya indah, tapi sekali pukul bisa langsung rebah.

Beliau juga mengajarkan, kalau bisa yang terbaik mengapa tidak? Ketika awal kita bekerjasama membuat TVC (TV Commercial) perdana Rumah Zakat, dalam satu scene ada adegan Helmy Yahya menyampaikan statement, “Saya Percaya Rumah Zakat”. Menurut pak Adhy akan sangat kuat pesan itu jika di latar belakang Helmy Yahya ada lukisan yang menurut beliau unik dan bagus sekali, satu lukisan kaligrafi Allah dengan orang-orang nampak berkerumun mencari-cari di bawahnya. Lukisan itu pernah pak Adhy lihat di rumah Gus Mus (KH Mustofa Bisri) di Rembang.

Sebenarnya kami tidak terlalu tinggi berharap untuk mendapat lukisan tersebut apalagi waktu itu tim kita belum cukup dekat dengan Gus Mus. Tapi bukan pak Adhy namanya kalau mudah patah arang. Dalam tempo singkat pak Adhy menghubungi Gus Mus dan langsung mendapat izin untuk kami pinjam shooting TVC, masalah belum selesai, karena itu H-1 sebelum shooting kami pun memutuskan tim Rumah Zakat cabang Semarang mendapat misi penting untuk membawa lukisan ini dari Rembang ke Jakarta. Walhasil lukisan itu selamat tiba di tempat, dan tak salah pilihan pak Adhy, hasilnya TVC pun menjadi lebih bernyawa dan menjadi awal yang baik bagi brand Rumah Zakat saat itu.

Cara mengajar, tepatnya saling belajar, pak Adhy identik dengan bertanya. Ternyata tak semua kita nyaman ditanya, jadi ada saja yang merasa “tegang” kalau kita ajak pak Adhy sebagai pembicara, ya kadang saya juga, hehe..terutama saat awal-awal kenal. Lama-lama malah jadi biasa, kalau pak Adhy nggak bertanya, malah saya yang nanya, kok gak ada pertanyaan pak? Kami pun berderai tertawa.

Dari beliau saya juga belajar tentang merenungi hidup. Sebagai muallaf keturunan Tionghoa, saya berusaha memahami betapa mencari dan memegang hidayah itu tak mudah. Dulu ketika masih sering bertandang ke kantornya saya merasa perlu untuk bertanya, pak Adhy sedang puasa atau tidak. Maksudnya, kalau saya ajak makan siang apakah beliau berkenan atau tidak, maklum beliau cukup rajin puasa. Saya coba kutipkan tulisan pak Adhy dalam buku Saya Memilih Islam: Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan Allah”, Gema Insani Press, 2001. Saya membacanya di beberapa tautan di internet.

Sejak kecil aku lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katholik yang taat. Soal pendidikan pun aku disekolahkan di lembaga pendidikan Katholik. Pendidikan dasar di SD Theresiana Semarang, SMP Dominico Savio Semarang, SMA Loyola Semarang, kemudian lanjutkan studi ke Universitas Katholik Atmajaya Jakarta di Fakultas Teknik jurusan Arsitektur.

Sejak remaja aku tercatat sebagai aktivis gereja, iktu aktif di organisasi Pemuda Katholik, menjadi anggota Presidium Mahasiswa Katholik Republik Indonesia(PMKRI). Pernah aktif menjadi pengurus di Paroki, Keuskupan, dan Kerasulan Awam. Aku juga penah menjadi pembina di Pimpinan Pusat Pemuda Katholik. Juga pernah menjadi ketua panitia pembangunan Gedung Bintang yang digunakan sebagai tempat perkumpulan Umat Katholik Semarang.

Disamping aktif di organisasi keagamaan, aku juga aktif di KNPI Jawa Tengah dan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Kodya Semarang. Sedang ketika masih pelajar dulu aku aktif di Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KNPI), dan juga ikut dalam organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Semula, pandanganku tentang Islam sangat negatif, diataranya terbentuk opini publik bahwa umat Islam itu suka berperang. Misalnya, perang Iran-Irak. Pemeluk (umat) nya banyak yang tidak disiplin, terlibat KKN, dan prilaku buruk lainnya.Tetapi, entah mengapa, pada tahun 1996 aku mulai mempelajari berbagai buku-buku keagamaan umat lain termasuk buku-buku Islam.

Semakin banyak membaca literatur keislaman, pengetahuanku tentang Islam makin bertambah. Setelah kurasa cukup, aku kemudian bertukar pikiran dengan seorang ustadz, namanya Habib Ahmad Syakur di Semarang. Pada pertemuan itu aku dijelaskan banyak hal tentang Islam. Penjelasan habib tentang Islam sangat rasional dan humnistik. Ternyata, nabi penyebar agama Islam, yaitu Nabi MuhammadSAW adalah seorang yang jujur, rendah hati, dapat dipercaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Hal-hal yang kurang kuketahui dari agama Islam, kutanyakan langsung pada Habib Ahmad Syakur. Bahkan konsep ketuhanan dalam Islam dapat dijelaskan dengan rasional. Tidak dogmatis. Sejak itu Habib Ahmad Syakur kujadian sebagai guru pembimbing.

Aku pertama kali tertarik pada Islam, yaitu pada hal-hal yang berbau mistis, juga ajaran tasawuf dan tarekat. Oleh guruku aku disuruh mencari ketenangan batin di goa yang terletak di Pacitan, Jawa Timur, dan juga ziarah ke makam wali, yaitu Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat.

Pada tahun 1997 setelah mantap mempelajari agama Islam, aku mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan guruku Habib Ahmad Syakur dan disaksikan oleh dua temanku yang terkejut. Aku mungkin mengecewakan teman-teman dan keluargaku. Bahkan anak dan istriku tidak menyetujuinya sampai sekarang.

***

Anggap saja tulisan ini salah satu bentuk terima kasih saya atas banyak sekali momen pembelajaran bersama beliau. Kehidupannya yang berliku justru memperkaya bahwa dunia ini penuh warna, di samping juga penuh tanda tanya untuk perlu terus kita cari tahu jawabannya. Curiuos, rasa ingin tahu yang tinggi inilah yang membuat pak Adhy selalu hadir dengan tulisannya yang segar, sesi-sesi diskusi yang menggelitik, kadang berapi-api, kadang malah seperti ending film seri X-files jaman dulu di tv yang sengaja dibuat menggantung agar para pembaca/audiensnya cerdas berpikir bahwa kita sah-sah saja saling berbeda arus asal tetap berpijak pada ilmu.

Apapun pendekatannya, pak Adhy seperti namanya, Trisnanto, adalah seorang pribadi yang banyak dicintai, semoga tak hanya oleh manusia namun juga oleh Tuhannya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.