BERBURU GURU

Om saya pernah menyampaikan satu hikmah, “Sebaiknya bukan guru mendatangi murid tapi muridlah yang mendatangi guru”, pernyataan ini muncul saat kami membicarakan realitas umum hari ini dimana marak guru privat ke rumah-rumah. Tanpa bermaksud menyudutkan, beliau hanya ingin mengingatkan bagaimana tradisi para ulama jaman dulu dimana selalu menjadi sumber ilmu yang dikerubungi santrinya, izzah atau harga diri guru pun relatif lebih terjaga.

Saya menikmati sekali bagaimana kisah Kusno, atau Bung Karno kecil, saat nglesot belajar kepada Haji Oemar Said Cokroaminoto di Gang Paneleh VII tepi Kali Mas Surabaya. Dari rumah inilah gagasan-gagasan tentang Islam dan kebangsaan ditularkan. Demikian pula Muhammad Darwis, sang pencerah KH Ahmad Dahlan muda, yang belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur. Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. (www.muhammadiyah.or.id)

Perkembangan zaman kemudian membuat pola ini terasa tak begitu efektif dan efisien, maka dibangunlah sekolah yang menjadi ruang yang menjembatani murid dan guru bertemu tanpa harus berkunjung satu persatu. Secara pribadi walaupun tetap mengakui pentingnya sekolah, konsep ‘meguru’ atau ‘nyantrik’ seperti para tokoh-tokoh kita dulu rasanya tetap relevan untuk dicoba. Setidaknya model belajar seperti ini akan menguji seberapa serius dan tekun seorang murid menimba ilmu dan karena lebih personal maka hubungan lebih emosional.

Kini dengan kehadiran teknologi, seharusnya membuat kita lebih bebas memilih ilmu dan tentunya guru. Seorang sahabat yang menamatkan kuliah S2 dan S3 di Amerika mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah Amerika turut memfasilitasi pembelajaran Islam di sana. Saya sempat agak ragu, really? Sahabat saya menceritakan, mungkin pemerintah tidak sadar bahwa kebijakan gratis telpon di hari Sabtu Minggu dimanfaatkan para aktivis muslim untuk melakukan kajian melalui telepon. Jadi walaupun saling berjauhan lokasi, silaturrahin dan pembelajaran tetap berjalan.

Dengan sebuah komputer tablet kita sekarang bisa mengikuti perkuliahan keren di universitas-universitas terbaik dunia, juga mengikuti pencerahan dari para penemu, tokoh inspiratif melalui panggung TED misalnya (temukan di www.TED.com). Saya sendiri belajar banyak materi presentasi dari www.slideshare.net, menyimak guru-guru motivatif dari penjuru dunia melalui radio streaming, semua bisa dilakukan meski sambil tiduran. Tapi saya juga sadar meski semua serba melimpah, masih belum mampu mengalahkan kedalaman belajar sebagaimana Imam Syafii rahimahullah yang setidaknya memiliki 22 guru langsung untuk masing-masing bidang kepakaran ilmu. Interaksi dua arah, dengan kasih sayang guru dan murid inilah yang (menurut saya) belum tergantikan meskipun ada internet.

Tulisan ini tidak bermaksud hanya bernostalgia dengan masa lalu tanpa menyadari zaman berubah. Saya sendiri hari ini mengaku sulit lepas dari piranti teknologi komunikasi dan informasi, entah karena tuntutan pekerjaan atau memang zaman sedang menggiring kita tak bisa lepas darinya. Yang ingin menjadi garis merah adalah bagaimana kita tetap selalu dalam lingkungan pembelajaran yang tak hanya mencerahkan namun juga memandu kita menemukan jalan-jalan kebenaran. Untuk memandu itulah kita memerlukan guru, mentor, coach yang mengenal kita secara pribadi sehingga mampu memberikan saling menginteraksikan pengaruh dengan baik.

Sejarah mencatat bahwa di balik kesuksesan Sultan Muhammad Al Fatih menembus dan menaklukkan Konstantinopel ada pengaruh Syaikh Aaq Syamsuddin. Bisa dikatakan beliaulah real hero penaklukan. Syaikh bernama asli Muhammad bin Hamzah Ad-Dimasyqi Ar-Rumi inilah yang mendidik Al Fatih sejak kecil dan terus memberikan nyala keyakinan bahwa Al Fatihlah yang paling pantas menjadi sosok dalam nubuwat atau ramalan Nabi ; “Sungguh. Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik – baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan)nya dan sebaik – baik tentara adalah tentaranya.”  Selama pertempuran terjadi. Syaikh Aaq Syamsuddin berada dalam kemahnya bermunajat kepada Allah SWT. Beliau bersujud kepada Allah hingga sorbannya terlepas dan rambutnya yang putih terjuntai ke tanah. Beliau menangis berdoa agar kemenangan segera datang dalam waktu dekat.

Karenanya para guru kini tak hanya cukup meningkatkan kepakarannya namun juga harus memantaskan meraih ruh ilmu sehingga mampu mentransfernya ke para murid dengan efek gugah yang mampu merubah sejarah.

Jangan sampai ketika para siswa ditanya, siapa guru favoritnya, mereka menjawab : Youtube!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.