Ada satu pertanyaan yang beberapa kali saya coba pikirkan. Kalau nanti saya meninggal dunia, saya akan dimakamkan dimana.
Saya lahir di Kalimantan, kecil hingga besar di Jogja, bekerja dan kini tinggal di Bandung. Kalau saya memilih (eh apakah boleh memilih?) di Jogja, berarti anak istri saya harus menengok alias berziarah dalam jarak tempuh yang tak mudah dilakukan setiap waktu. Jika dimakamkan di Bandung, anak istri saya relatif lebih mudah berziarah tapi bukankah saya bukan hanya milik anak istri saya? Ada orang tua, yang barangkali masih ada sebelum saya tiada, ada kakak-kakak dan saudara lainnya.
Atau jangan-jangan bukan di dua kota tersebut. Mungkin di Mekkah sewaktu naik haji misalnya. Jangan-jangan ketika naik pesawat ada insiden kecelakaan atau penembakan sehingga semua penumpangnya hancur meledak di udara hingga tak bisa diketemukan jasadnya. Semua serba misteri. Karenanya kita sering menyebut Wallahu a’lam. Betul bahwa siapapun yang pergi tetaplah akan sampai di alam berikutnya, tapi makam menjadialat pengingat bahwa ada satu jasad yang semasa hidupnya pernah berinteraksi dalam jalinan ruang dan waktu. Interaksi itu bisa dengan kita, bisa juga dengan orang-orang sebelum kita.
Saya menulis ini ketika saudara kita yang berhaji mulai berangkat ke tanah suci. Dalam acara pelepasan haji, saya sendiri kadang menahan haru, melihat mereka yang berangkat seperti sudah berwasiat jika harus meninggal dunia ya ikhlaskan, jika pulang selamat sampai tanah air ya berarti itu bonus untuk bisa lebih shalih dari sebelumnya. Jadi setelah mabur alias terbang pulangnya juga mabrur.
Kematian adalah guru terbaik. Sahabat Abdullah bin Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘‘Ya Rasulallah, mukmin manakah yang paling utama?’’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya diantara mereka”. Lalu bertanya lagi, ‘‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’’. Beliau menjawab:“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Saya sendiri merasa belum cerdas. Karena kayaknya juga tak sering mengingat kematian. Sering ikut takziah tapi pas duduk-duduk bersama teman-teman malah ngobrol gak karuan, apalagi pas momen kematian justru menjadi seperti ajang reuni baik antar saudara maupun teman. Melihat makam pun kadang tidak memberi peringatan, yang pasti diingat kalau malam-malam lewat ya lumayan menegangkan. Padahal hantu itu jelas tidak pasti adanya, tapi mati pasti terjadi. Uban yang kata Nabi sebagai pembawa pesan akan dekatnya kematian juga masih dirasa sebagai tamu biasa seiring pertambahan usia.
Sebuah cerita mengalir dari seorang tokoh yang saya temui beberapa waktu lalu. Dalam kesahajaannya ternyata beliau adalah seorang yang telah malang melintang di dunia media. Beliau meminta kami mendengarkan cerita hidupnya sebelum topik kemitraan bisnis yang kami rencanakan. Bisnis mah gampang dibicarakan, menurut beliau. Pengusaha ini mengisahkan perjalanan hijrah yang beliau lakukan setidaknya dalam 2 tahun ini. Hijrah dari kegelapan menuju jalan terang. Peristiwa spiritual ini berawal dari momen wafatnya ibu beliau, yang telah lama menetap di Mekkah. Sekitar dua pekan sebelum wafatnya sang ibu menelpon kepada beliau dan mengatakan bahwa “Kamu ini anak surga. Kerjakanlah sholat 5 waktu, jangan lagi minum wine”.
Pesan ibunya hingga kemudian sampai kewafatannya bagai lonceng yang membangunkan kesadarannya untuk kembali pada jalan Islam. Beliau semakin takjub ketika di rumah ibunya di Mekkah, sang ibu sudah menyiapkan kumpulan pesan dan buku doa-doa yang dikhususkan untuk beliau. Aneh, karena anak-anaknya yang lain tidak mendapat pesan khusus seperti pengusaha ini. Beliau bercerita bagaimana ibunya senantiasa mendoakan untuk ia bisa mendapatkan hidayah dan beragama lebih baik. Dan semoga doa ibunya terkabul, dalam pertemuan siang itu hanya dalam waktu dua jam bertemu, saya menangkap keseriusannya untuk total dalam berhijrah, termasuk untuk bisnisnya. Ketika tab saya melantunkan azan, beliau pun meminta pertemuan diselesaikan dan kita teruskan untuk sholat berjamaah.
Saya pun mendengar cerita tentang walikota Bandung, Ridwan Kamil, tentang sosok ayahnya. Bagaimana sang ayah dulu begitu mendorong menjadi seorang arsitek mungkin karena sang ayah suka merenovasi rumah dan memperlihatkan foto kota-kota di luar negeri. Namun sang walikota yang akrab dipanggil Emil ini berontak dengan arahan ayahnya dan lebih memilih jurusan Teknik Kimia.
Entah mungkin sudah takdir, pilihan pertamanya tidak lulus dan malah diterima di pilihan keduanya pada jurusan Teknik Arsitektur ITB sesuai pilihan ayahnya. Dan ternyata justru dunia arsitekturlah yang melambungkan dirinya seperti kita saksikan hari ini. Selalu ketika mengingat sosok ayah kerinduannya memuncak, ada penyesalan mengapa ketika dulu masih ada sering berseteru. Rasa rindu itulah yang kini terkonversi menjadi energi untuk mendedikasikan diri sesuai keahliannya guna kebaikan masyarakat banyak. Setidaknya sebagai bakti dan terima kasih atas jasa ayahnya.
Kematian adalah status bagi yang meninggal, tapi kehilangan selalu menjadi milik siapa saja yang memiliki kesan dan pengalaman pada sosok yang meninggal. Apakah rasa kehilangan itu menjadikan kita lebih cerdas atau tidak, menjadi lebih shalih tidak itu semua adalah pilihan.
Semoga tulisan saya tidak berakhir sedih, kalaulah demikian ya nggak papa, toh saya sudah banyak menulis topik gembira.