Ada tiga penulis yang sangat menginspirasi saya sejak dulu jaman sekolah, pertama, alm. Mahbub Junaidi, kedua alm. Umar Kayam dan terakhir Putu Wijaya. Saya mengenal karya Mahbub Junaidi dari sebuah buku kumpulan tulisan beliau di rubrik Asal Usul di harian Kompas. Buat saya Mahbub berhasil meringkas berbagai masalah yang kompleks dalam satu tulisan yang cerdas, menghibur tanpa kehilangan nalar kritisnya. Kekangenan saya pada tulisan Mahbub mungkin sedikit terobati dengan tulisan-tulisan Dahlan Iskan, saya tidak tahu jangan-jangan pak DI juga nge-fans dengan Mahbub Junaidi, seperti ada citarasa yang hampir sama.
Saya turut terpingkal ketika dalam bukunya, Mahbub menceritakan sosok Nikita Khrushchev, perdana menteri Uni Soviet yang terkenal galak era enam puluhan. Saat diundang hadir di Sidang Umum PBB, Nikita ngamuk karena marah pada isi pidato seorang senator Filipina, saking jengkelnya Nikita sampai memukul-mukulkan sepatu di atas meja. Eh ternyata ada seorang fotografer Jerman yang iseng, difotolah sepatu pak Perdana Menteri, walhasil foto tersebut jadi berita besar di Jerman, mengapa? Karena setelah di-zoom ternyata sepatu Nikita made in Germany, padahal saat itu Uni Soviet sedang kurang bersahabat dengan Jerman (Barat). Nikita pun jadi bulan-bulanan media di Jerman, bahasa kita hari ini mungkin ‘benci tapi cinta’. Tentu ini membuat Moscow makin berang!
Karena Bapak saya hampir tiap hari membeli koran Kedaulatan Rakyat, saya kemudian mengenal tulisan pak Umar Kayam. Sayangnya (atau malah beruntungnya?) saat itu era sembilan puluhan saya masih SD dan belum terlalu ngeh apa yang pak UK ini tulis. Untungnya tulisan-tulisan tersebut dibukukan dalam buku berjudul “Mangan Ora Mangan Kumpul”. Kalau anak muda sekarang kesulitan membayangkan seperti apa seru ceritanya, mungkin bisa baca di sebuah blog yang mengaku unofficial tapi cukup lengkap mengupas tulisan beliau, umarkayam.wordpress.com.
Sosoknya seakan melekat pada tokoh ‘Pak Ageng’ yang menjadi lakon utama dalam tulisannya. Tentu bersama tokoh lain seperti Mr. Rigen, Bu Ageng, Ms Nansiyem, Beni Prakosa, Tolo-tolo, Prof Lemahombo, Prof Legowo Prasodjo, dan Pak Joyoboyo. Hubungan Pak Ageng dan Mr Rigen (pembantu yang berperan sentral dalam Kitchen Cabinet-nya) mungkin agak mirip dengan acara Sentilan Sentilun di MetroTV. Hubungan majikan kepada sang pembantu diungkap dinamis, kadang kemaki (arogan), kadang manja rindu pijatan, tapi kadang sang pembantu menjadi penasehat agung saat majikannya gresulo (galau).
Pak Ageng juga penikmat kuliner, setidaknya penggemar berat Penggeng Eyemnya Pak Joyoboyo. Istilah Mak Nyuss sebelum di”nasional”kan oleh Bondan Winarno, sebenarnya telah sering digunakan oleh Umar Kayam dalam kolomnya.
Untuk inspirator ketiga, saya penting menyebut Putu Wijaya. Gagasan kreatifnya mulai saya baca melalui novel “Perang”. Bisa dibilang baru buku inilah yang sampai berulang 3 kali saya pinjam di perpustakaan fakultas. Rasanya nikmat sekali membacanya, Putu Wijaya bak seorang dalang yang secara ‘semena-mena’ menjungkirbalikkan pakem peran tokoh Pandawa dan Kurawa. Sangat cerdas dan jenaka. Sayang saya tidak tahu harus kemana beli novelnya, yang saya masih ingat misalnya protes Petruk yang diperlakukan beda dengan Arjuna, “Mengapa kalau Arjuna mengintip putri keraton dibiarkan saja, malah balik disuitin, kalau saya yang melakukan kok malah langsung dihukum oleh istana”. Mungkin ini semacam sindiran penegakan hukum (di negeri antah berantah), yang tajam hanya bagi wong cilik tapi tumpul bagi penguasa dan keluarganya.
Juga pesan Kresna kepada Bima, sang ksatria Amarta putra Pandu yang kelebihan tenaga sampai bosan menunggu karena Perang Baratayuda masih lama.
“Musuh dipelihara sedikit untuk sasaran, supaya kita jangan pecah di dalam.”
Menurut saya ini semacam realitas yang dilakukan oleh ‘negara’ dengan memanfaatkan pihak-pihak yang kontra negara untuk menjadi ‘musuh bersama’. Sengaja tidak semua ditumpas supaya negara memiliki isu bersama yang karenanya layak didukung semua warga. Dalam hal ini negara harus selalu terjaga dalam wibawa, dan supaya citra wibawa melanggeng maka bersekutulah dengan media yang bisa disetir menjadi corong kuasa. Pantas kalau Faruk HT, kritikus sastra, mengatakan “Hanya Perang karya Putu Wijaya yang memperlihatkan kualifikasi yang demikian: kaya peristiwa, kaya perdebatan, kaya kata-kata bijak”.
Ketiga tokoh di atas hanya sedikit dari khazanah penulis yang kita punya. Pasti masih begitu banyak yang bisa disebut, silakan Anda menyebut versi Anda. Saya memberi nilai lebih pada ketiganya karena mereka mampu menghadirkan warna yang unik dalam menginspirasi. Jenaka namun bijaksana. Sementara saya melihat hari ini begitu melimpah para penulis muda yang menginspirasi dalam jenaka. Tapi entah mengapa saya tak cukup mudah mendapatkan karya yang membaca realitas dengan cerdas namun tetap menggelitik melalui balut guyonan seperti ketiga tokoh di atas. Kalaulah berjenaka kekuatannya lebih sebagai obat pengusir penat yang memproduksi tawa. Jelas tetap menghibur, saya pun suka, namun sebuah karya bacaan rasanya lebih mengemuka jika berefek gugah dan membantu kita menjadi lebih bijaksana.
Terakhir supaya tulisan ini tetap happy ending, saya coba kutip sedikit alinea dalam tulisan Mahbub Junaidi berjudul Wajah, yang dimuat dalam kolom Asal Usul; Kompas, 20 Maret 1988 :
Pada saat majalah Tempo berulang tahun di Hotel Sahid tahun lampau, diadakanlah diskusi yang menampilkan Benny Murdani sebagai pembicara utama dengan moderator Fikri Djufri. Macam-macamlah persoalan yang diajukan wartawan, menyangkut kebebasan pers, masalah tanggung jawabnya terhadap kestabilan, dan hal-hal semacam itu.
Tapi, ada pertanyaan aneh yang menyimpang. Pertanyaan ini datangnya dari wartawan, Aristides Kattoppo. Dengan enak dia bertanya sesudah terlebih dulu minta maaf: “Kenapa sih Benny jarang ketawa dan senantiasa cemberut?”
Benny yang menjawab dengan contoh: “Menurut kepercayaan Cina, saya ini dilahirkan dalam “tahun monyet”. Saudara-saudara tahu kan monyet itu, antara ketawa dan merengut tidak ada bedanya.” Para hadirin tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban yang jitu dan bagus itu.#
Bagi Anda yang kebetulan penggemar Mahbub silakan kunjungi pojokmahbubdjunaidi.blogspot.com