Pagi itu menjadi hari pertama saya menginjakkan kaki di Bandung, kelas 1 SMA. Masih ingat di benak, kami menyewa satu gerbong kereta dari Jogja. Saat itu sekolah menawarkan pilihan, mau naik bis yang bagus tapi di Bandungnya cuma sebentar atau naik kereta tapi bisa lebih lama wisatanya, dan kami memilih yang kedua walaupun cuma kelas ekonomi. Singkat cerita saya jatuh cinta pada Bandung, sampai kemudian berobsesi ingin bekerja dan tinggal disini.
Sejak dulu saya menyukai buku, dan di Bandung saya sudah mengenal ada satu penerbit Islam modern yang bisa mendekatkan saya pada keinginan tersebut. Sepertinya sebuah impian menarik, saya akan menjadi penulis sekaligus editor dan membayangkan bisa tidur di antara bacaan yang berlimpah, mungkin seperti senangnya Paman Gober menyelam di antara kepungan keping koin uangnya. Sepuluh tahun kemudian saya benar-benar bekerja di Bandung. Lho kok lama bener? Iya, karena kuliah saya lama 🙂
Selanjutnya kuliah. Alhamdulillah saya melamar 3 kampus, 2 kampus ikut tes, diterimanya di 4 kampus. Wah sombong banget sih? Oh nggak, saya hanya bersyukur, ternyata impian masuk universitas negeri terbaik di negeri ini bisa saya taklukkan, di jurusan yang katanya juga cukup selektif (kala itu he..he). Tes kedua untuk program khusus berasrama dan gratis di sebuah universitas swasta Islam terbesar dimana hanya dipilih satu orang per propinsi, alhamdulillah saya diterima. Mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya pintar? Sama sekali tidak, saya bejo saja.
Saya kemudian ingin menikah, rasanya sudah mulai bosen saya kuliah, 6 tahun, semakin memperjelas bahwa saya hanya bejo bisa masuk UGM. Sambil menunggu wisuda, saya masuk, lebih tepatnya diajak masuk, sebuah NGO advokasi pendidikan. Satu hari kami berkumpul di sebuah lapangan di kampus tetangga timur kami. Ada seseorang yang membuat saya terkesan, terkesan apanya? Ah tak tahu saya, mungkin itulah tanda cinta. Maklum anak muda. Singkat cerita hasil saya menimbang, saya putuskan melamarnya. Hasilnya : diterima. Yes!
Kami menikah pada usia 24 tahun. Alhamdulillah saya belum pernah merasakan menjadi pengangguran, untuk wisuda saya izin 1 hari dari sebuah tim riset di Jawa Tengah. Kalaulah menganggur sepertinya cuma 2 pekan sebelum akhirnya saya diajak bantu Rumah Zakat. Dengan penghasilan yang sangat bersahaja. Masih terkenang suatu malam saya pernah menitikkan air mata, penghasilan saya terlalu ngepas untuk memenuhi sebagian (kecil) list kebutuhan rumah tangga. Istri saya, Didah namanya, menguatkan bahwa kita bisa memulai semuanya.
Ini semacam membalikkan obsesi waktu itu, untuk mendapatkan istri orang Sunda, bukan karena Sundanya, yang penting karena orang jauh saya bisa merasakan sensasi pulang mudik lebaran. Dari istri saya inilah Allah mengabulkan satu keinginan saya jauh sebelum menikah ; ingin punya anak pertama perempuan. Mengapa? Karena keluarga besar kami keluarga Pandawa, banyak lelakinya. Rasanya lucu juga, khususnya untuk ibu saya memiliki cucu perempuan di saat anak-anaknya laki-laki semua.
Saya sangat berterima kasih pada Rumah Zakat, disinilah awal profesional saya dimulai. Setidaknya ini ke-bejo-an saya kedua, di saat banyak teman seangkatan tidak berkesempatan bekerja sesuai ilmu yang kami pelajari di kampus, saya masih banyak hubungannya. Banyak suka duka di tim ini kami lewati, sampai kemudian berkembang menjadi salah satu Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) terbesar di republik ini, termasuk meningkatkan rating website di Google dari halaman 14-an menjadi page pertama untuk kategori zakat. Ternyata kita bisa, from nothing to something.
Sebuah misi mengantarkan saya menyempurnakan arsitektur usaha di PT Global Garda Media, sebuah perusahaan ekonomi kreatif. Bukan mudah menarik gerbong yang sebelumnya nyaman dan mapan. Banyak yang mengeluhkan bagaimana tentang masa depan, ujian menjadi pemimpin pun dimulai, kita harus lebih tegar dari yang dipimpin. Saya hanya punya visi besar yang sebagian dititipkan ke kamar baru ini, bersyukurnya semua happy ending, belum pernah sekalipun karyawan telat menerima hak bulanan. Kami berhasil menaklukkan tanggung jawab utang dari cashflow negatif dengan pertumbuhan minus tiga digit persen menjadi positif dalam 13 bulan. Belum terlalu menguntungkan memang tapi saya hanya ingin menunjukkan pada tim bahwa dengan kebersamaan kita bisa hadapi masalah dengan baik.
Misi berlanjut lagi, mendirikan stasiun TV. Menantang sekali! Tim yang juga sudah mulai mapan dipecah kembali, dengan hanya bersembilan orang kami harus memulai misi yang sebelumnya baru sebatas visi. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Desember 2012 kami melaunching sebuah media tv online, bulan Maret 2013 Allah datangkan orang dan peluangnya. Saya harus perjelas, bahwa ini adalah obsesi agar masyarakat mendapatkan informasi alternatif yang positif. Kami menyebut tim sembilan ini sebagai pasukan Qithmir. Apa itu? Qithmir adalah nama anjing penjaga gua para pemuda Kahfi. Ashabul Kahfi ini bisa terselamatkan hingga 309 tahun salah satunya karena anjing ini, tentu dengan izin Allah. Anjing inilah yang menjaga gua sehingga orang-orang tak berani mengganggu para pemuda sholih ini.
Media adalah Qithmir zaman sekarang, dialah yang membuat kita lebih berwibawa, lebih bertenaga, bahkan mampu menyalak ketika kebenaran diusik oleh kemunkaran. Tantangan ini tidak mudah, tapi inilah episode baru bagaimana kita bisa membuktikan bahwa kita bisa mencatatkan sejarah.
***
Semua tulisan di atas, sengaja saya ambil dari cuplikan fragmen hidup saya, semua hanya untuk menyemangati khususnya diri saya, bahwa begitu banyak masalah yang pernah ditaklukkan, ini juga yang ingin saya bawa bersama tim baru saya, bahwa kita tidak boleh kalah dari masalah. Kami sangat antusias menikmati tantangan ini, tapi doa dan dukungan Anda sungguh sangat kami butuhkan.