Tak terasa, tulisan ini akan menjadi tulisan ke-25 saya di media ini. Masih jauh lebih sedikit dari tulisan guru saya pak Adhy Trisnanto, yang juga hadir di majalah ini, beliau dulu sempat mengasuh sebuah rubrik di harian Suara Merdeka sampai akhirnya terbukukan dalam buku “Cerdas Beriklan”. Bahkan buku beliau “Ngobrol Santai Soal Marcomm” juga menjadi salah satu rujukan penting dunia komunikasi pemasaran di negeri ini di saat buku tema sejenis lebih banyak harus dicerna sambil mengernyitkan dahi.
Saya teringat dulu saat masih bersekolah di tingkat menengah pertama terkesan sekali dengan bukunya Arswendo Atmowiloto “Mengarang Itu Gampang”, buku itu sempat saya perpanjang walaupun akhirnya buku perpustakaan itu entah hilang dimana dan saya harus menggantinya. Buku tersebut sempat menggugah saya untuk menjadi penulis. Era itu saya juga banyak membaca buku karya Emha Ainun Najib (nama singkat saya – trieha – adalah korban kekaguman saya pada Emha saat itu), saya juga menikmati sekali tulisan Danarto, Umar Kayam dan sebagainya.
Suatu saat, saya sempat mengangankan ada sebuah alat atau software yang bisa merekam suara dan mengkonversinya menjadi teks, jadi kalau saya lagi malas mengetik bisa direkam aja trus keluar deh dalam bentuk teks. Dan ajaibnya, semua sekarang telah tersedia. Sebut saja misal Dragon Naturally Speaking (http://www.nuance.com/dragon/index.htm) atau aplikasi VoiceBase (http://www.voicebase.com/) bisa juga DictationPro (http://dictation-pro.software.informer.com/download/), kalau kurang cocok bisa mencoba Free Audio Converter (http://www.freemake.com/free_audio_converter/). Ada juga beberapa aplikasi Android yang bisa Anda temukan misal dengan keyword : convert voice to text. Mana yang terbaik mungkin Anda coba saja dulu, toh saya hanya berbagi bukan jadi agen promosi.
Jika alat itu ada mungkin para ustadz yang seringnya tak cukup waktu menulis bisa kita bantu menjadikan ceramahnya bahkan menjadi buku. Para jurnalis bisa makin cepat bekerja karena tak perlu lagi mentranskrip rekaman narasumber, semua tinggal di-convert seperti juicer, memang namanya teknologi belum sepenuhnya bebas ampas, bisa jadi karena aplikasi ini umumnya disetting dengan pendeteksian bahasa Inggris. Jadi kalau alatnya sempat bingung ya mungkin softwarenya sedang pusing menerka-nerka pilihan kata paling tepatnya.
Tapi jangan salahkan saya ya kalau misal ruang kerja staf Anda jadi berisik pada ngomong sendiri di headphone-nya gara-gara ingin mencoba teknologi ini..kita optimalkan saja teknologinya selama aman dan nyaman. Mengapa harus aman karena ngeri juga sekarang semua perangkat teknologi bisa disadap, jangankan yang sudah jadi suara bulat, yang masih kresek-kresek saja bisa dienkripsi. Harus nyaman juga karena ya itu tadi, jangan sampai terjadi kegaduhan baru di ruang kerja, kalaulah ini terjadi seharusnya kita bersyukur mereka-mereka ini mungkin berbakat jadi telemarketing atau call center.
Jadi seharusnya menulis itu gampang. Softwarenya sudah ada, kalaulah tetap dengan komputer sekarang sudah ada laptop, tablet, smartphone atau entah teknologi apa lagi nanti yang keluar, kalau semua masih repot mari kembali ke cara orisinil menulis : dengan kertas dan alat tulis. Apakah menulis itu harus standar mengarang ala dulu kita diajarkan di sekolah? Hmmm..menurut saya sih bagaimana medianya dan kepada siapa target pembaca kita. Ada kalanya perlu, ada waktunya malah tidak perlu.
Coba kita perhatikan fenomena Buzzfeed.com (http://www.buzzfeed.com/) kata seorang teman yang sedang kuliah di Amerika sana, web ini sedang populer justru karena gaya jurnalismenya yang tidak ‘seketat’ aturan penulisan berita yang lazim sebagaimana banyak kantor berita mapan lakukan. Gaya tulisannya sepertinya sengaja dibuat agak ‘ngawur’ biar menghibur. Mungkin pembacanya, yang kebanyakan adalah generasi Y (terlahir pasca tahun 1981 ke atas) yang pengennya serba ringkas, instan dan tak perlu berpikir keras untuk sekedar membaca berita.
Kalau di Bandung saya heran sekali ada buku yang bisa membuat saya begitu terpingkal, judulnya Watir, tulisannya dominan berbahasa Sunda campur-campur dengan bahasa Indonesia dan mungkin sebagian idiom Inggris yang dipakai seenaknya, misal Dont like join mix (jangan suka ikut campur) atau Know content alias tahu isi alias #gehu (toge tahu), dll. Apakah laku? Ternyata kenceng juga penggemarnya. Tentu jenis buku seperti ini tak bisa sepenuhnya untuk konsumsi umum, banyak yang harus disensor mungkin karena beberapanya terlalu kasar dan banyak cerita soal hantu (yang anehnya selalu sial..hehe..)
Nah kalau mau buku yang tetap menghibur, menginspirasi dan bisa dibaca semua umur ada yang baru dari Rumah Zakat, judulnya INDONESIA JUARA : Kisah usaha sekolah mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua. Disini kita bisa membaca bagaimana perjuangan bapak ibu guru di Indonesia Juara Foundation dan Rumah Zakat mengembangkan Sekolah Juara, sekolah gratis berkualitas bagi para siswa kurang mampu. Ada cerita tentang siswanya, orang tuanya, guru-gurunya yang semua sangat membanggakan sekaligus menggetarkan. Pantas saja jika kemudian Sekolah Juara tumbuh berkembang sampai-sampai banyak donatur yang ingin menyekolahkan anaknya sampai maksa padahal quota untuk siswa non kurang mampu sangat terbatas kursinya.
Sekali lagi tulisan ini ingin menegaskan bahwa menulis itu gampang. Hanya butuh kemauan dan pembiasaan. Tidak harus yang rumit dan terlalu intelek, karena umumnya malah kurang banyak peminatnya, tapi juga jangan terlalu asal karena kata Nabi kita, banyak tertawa bisa mengeraskan hati kita. Idenya menulisnya dari mana? Ya dari mana saja, yang penting mulai dan mulai. Pidi Baiq, Imam Besar The Panas Dalam, saja bisa membuat buku dari hasil twitterannya, disusun eh jadilah sebuah buku, laris pula! Wah saya tak bisa menulis panjang, okelah bagaimana kalau dipadu dengan gambar, foto atau karikartun misalnya, mengapa tidak?
Saya masih meyakini, setiap penulis yang baik selalu seorang pembaca yang baik. Zaid bin Tsabit misalnya, di masa sangat belia, Zaid yang saat itu berusia 13 tahun mendaftar perang ke hadapan Rasulullah. Dengan menyeret pedangnya yang berat Zaid bin Tsabit menghampiri Rasulullah, meski tidak sanggup mengangkat pedangnya, semangatnya sungguh tinggi. Akan tetapi di dalam peperangan yang sesungguhnya semangat saja tidak cukup, postur tubuh Zaid serta usianya yang masih terlalu belia membuat Rasulullah Saw tidak bisa menerimanya untuk bergabung dengan pasukan perang Badar.
Mendapati dirinya ditolak masuk ke dalam barisan mujahidin, Zaid muda menjadi sangat sedih. Sesampai di rumah, ia menemui ibundanya tercinta an-Nawar binti Malik dan berkata, “Rasulullah saw melarangku berjihad.” Lalu apa jawabannya ibunya, “Jangan bersedih, engkau bisa membela Islam dengan cara lain. Jika tidak mungkin dengan jihad ke medan perang, cobalah berjihad melalui lisan atau tulisan.” Ketika dewasa, Zaid lah yang dipilih untuk menjadi ketua tim pembukuan wahyu dalam satu mushhaf Al Quran. Abu Bakar mengatakan kepadanya: “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu”. Dan memang, Zaid adalah penulis dan pembaca wahyu nomor satu di zamannya.
Bagi saya, menulis adalah salah satu cara untuk memanjangkan usia kita. Kita tidak tahu kapan Allah akan memberhentikan usia biologis kita, dan dengan menulis, merekam, mengaudiokan atau mengaudiovisualkan ide kita semoga itu semua mampu memperpanjang usia kebaikan kita bagi orang banyak.
Saya menyadari dua tahun ini belumlah cukup untuk menjadi penulis handal. Serial tulisan ini hanyalah hasil capture atas lintasan pikiran yang kadang melompat-lompat tak beraturan, tanpa silabus sebagaimana orang sekolahan. Apapun itu semoga semua bermanfaat.