Saya berusaha terus meyakini bahwa orang yang mudik ke kampung halaman saat lebaran adalah dalam maksud birrul walidain (bakti berbuat baik kepada orang tua). Jikalah tak lengkap orang tua kandungnya karena sudah tiada atau sebab lain, motivasi berbakti pada orang yang dituakan tetaplah niat utama. Mengapa saya membuka dengan kata ‘berusaha terus meyakini’ karena ada saja ungkapan yang menganggap peristiwa mudik hanyalah ritual liburan, tidak ‘nyunnah’ bahkan malah sering memakan korban karena padatnya kendaraan. Jika mudiknya sampai melalaikan ibadah Ramadhan baik siang atau malam saya sepakat itu kurang ‘nyunnah’, tapi saya hanya husnuzhon yang baik saja, karena sesuai sabda Rasul, amal terbaik kedua setelah sholat tepat di awal waktu adalah birrul walidain. Mudik layaknya sebuah medium bagi satu keluarga saling tersatukan kembali, momentum dimana kita bisa mendengarkan doa secara langsung dari para tetua di saat pada hari biasa doa terpanjat secara hening dalam dimensi jarak.
Jika Ramadhan adalah ujian kesabaran, saya melihat Syawwal atau Lebaran adalah ujian nama baik. Ini terasa ketika kita saling berkumpul bersama keluarga dan saling mendengar kabar satu sama lain. Seakan kita diabsen sebaik apakah kita hari ini, apakah kita hadir dalam cerita yang membahagiakan atau sebaliknya, membawa kabar duka saat seharusnya berhari raya. Namun apakah benar bahwa kita mendapat nama baik dan pandangan positif di masyarakat karena murni perbuatan baik kita? Secara bahan baku, ya memang modalnya adalah dari rekam jejak perbuatan kita tapi saya memandang ada satu hal yang menurut saya penting dicermati, yaitu peran nama baik orang tua.
Benar bahwa ada pepatah Arab yang mengatakan, “Jangan katakan ini Bapakku, tapi tunjukkanlah ini diriku!”, namun yang saya maksud adalah betapa kebaikan itu terwariskan, sebaliknya juga cacat nama orang tua pun bisa menurun. Maka relevansi mudik adalah seakan kita menge-charge kembali nilai-nilai baik yang terwariskan oleh orang tua kita atau keluarga asal kita dan jika ternyata ada cacat nama yang dimiliki oleh orang tua atau saudara kita maka kehadiran kita menjadi penambal bahkan obat yang menutup cedera nama tersebut, tentu prasyaratnya adalah kita pun harus mampu menunjukkan bahwa kita adalah orang yang baik.
Saya kemudian berpikir tentang apa definisi nama baik. Rasanya jika melihat ukuran sosial, mendapat nama baik tidaklah sulit, yang penting tidak melakukan yang dilarang baik secara agama atau norma sosial. Tapi benarkah demikian? Seorang professor yang juga dokter dan juga ustadz pernah mengatakan dalam sebuah siaran radio, “Janganlah kita hanya menjadi seorang muslim yang lumayan!” Artinya kita hanya sebagaimana orang kebanyakan, yang namanya tidak jelek tapi juga tak punya nama baik yang menonjol. What will be..will be..ikut arus air mengalir, padahal kita tahu prinsip air selalu mengalir ke bawah.
Coba kita bandingkan dengan ukuran nama baik menurut ulama besar Sufyan Ats Tsauri. Seseorang bertanya, “Kepada siapa kami harus bergaul, wahai Syaikh?” Sufyan Ats Tsauri menjawab, “Dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkanmu untuk berdzikir kepada Allah, dengan orang-orang yang membuatmu gemar beramal untuk akhirat. Dan, dengan orang-orang yang akan menambah ilmumu ketika kamu berbicara kepadanya.” Pertanyaannya, jika teman kita melihat kita apa yang lebih tergambar? Jika kita berbicara, lebih ber-out put ilmu atau gosip kalengan?
Jadi jika kita kembalikan kepada makna nama baik di atas, tentu tak cukup hanya berakhlak protektif terhadap yang dilarang norma tapi juga harus pro aktif doing good kepada orang lain dan masyarakat secara luas. Jadi ketika orang melihat atau mengenang kita, yang terkenang adalah kebaikan kita, bahkan akan meluas kepada orang tua kita, anak keturunan kita. Ucapan dan amal kita akan menjadi penguat iman dan tambahan ilmu bagi orang lain. Ketika mudik saja kita malu saat orang lain mengingat-ingat aib kita atau keluarga kita, maka sepantasnya kita lebih malu jika saat mudik hakiki kita nanti di akhirat, aib-aib kita lebih mengemuka dibanding kebaikan-kebaikan kita.
Untuk itulah kita perlu cermin, agar kita bisa melihat dan mengukur nama baik kita, dan silaturrahim adalah satu sarana yang sangat Islam anjurkan. Rasulullah pernah bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Semoga tulisan kecil ini menjadi silaturrahim yang hangat di antara kita. Mohon maaf lahir dan batin.