NAMANYA SRI

Pada suatu senja hari kami berenam harus sudah menemukan tempat pondokan sementara sekitar 2 pekan untuk kepentingan penelitian. Tak tersedia cukup informasi bagi kami yang memang bukan penduduk asli untuk mendapatkan pondokan tersebut. Survey di awal saya sebagai koordinator tim merasa aman karena rumah yang ditunjukkan pak camat bisa dipakai, tapi ternyata ketika hari-H berbeda. Intinya tidak cukup layak dipakai dan kita harus mencari pengganti secepatnya kecuali kita akan bermalam di dalam mobil. Eh tapi itu juga bukan opsi yang baik, karena mobilnya pinjaman jadi sesuai perjanjian setelah sampai lokasi, mobil pun harus segera pulang. Walaupun ada budget, hotel bukanlah pilihan bijak karena kita harus tinggal selama 2 pekan, kecuali kami harus mengorbankan semua tak dibayar demi tidur di kamar yang nyaman.

Azan maghrib sudah menyahut, kode yang sebenarnya membuat tim semakin gelisah. Singkat kata alhamdulillah ada jalan keluar, dari 2 pilihan akhirnya kami memutuskan menyewa rumah milik seorang ibu namanya Ibu Sri. Bangunan rumahnya besar tapi nampak kurang terawat, Ibu Sri seorang single parent usia 50-an dengan satu putri. Beliau dahulu pengusaha roti yang pernah jaya di masanya, sayang muncul banyak fitnah hingga usaha besarnya tersebut tak lagi berjalan. Sisa-sisa kejayaannya masih nampak pada berbagai alat bakery ukuran besar yang masih bertengger di sudut ruang meski sudah tak cukup bersih dan layak dipakai ulang.

Ternyata kesan keras beliau hanya nampak di air muka, setelah kami mencoba tinggal dan berdaptasi, beliau malah cukup terhibur mungkin karena sudah cukup lama beliau hidup sendiri di saat anaknya juga tak selalu tinggal bersamanya.  Perasaannya membuncah bahagia ketika kami membiasakan terutama maghrib dan isya sholat bersama di ruang tengah rumah. Beliau bercerita, “Ibu merindukan sekali masa-masa seperti ini”.

Tiap pagi dan malam kami makan di warung makan Bu Sri, waktu itu memang Ibu Sri mencari nafkah dengan membuka warung nasi. Kami bayar sekaligus untuk 2 pekan, beliau memisahkan menu yang ’seharga’ dengan paket kami, kalau lebih ya bayar. Kadang kalau lagi bosan menu makanan dan kami mengambil menu berbeda kami ya harus bayar, tapi kalau si Ibu sedang gembira, beliau menggratiskannya.  Tulisan ini tak cukup menceritakan bagaimana pengalaman 2 minggu itu, intinya kami merasa seperti dipilih Allah untuk menjadi tamunya. Setidaknya saya bertugas ganda, pagi sore mengkoordinir tim, malam hari menjadi teman Ibu bercerita. Kadang di rumah, kadang di warungnya.

Hari kedua belas tiba, mendekat hari itu Ibu sudah menampakkan raut sedih. Puncaknya beliau bilang kepada kami saat berkumpul di ruang makan, “Besok Ibu mau pergi ke saudara ibu di kota lain. Ibu tidak kuat melihat kalian meninggalkan rumah Ibu. Jadi daripada Ibu melihat itu, biar ibu saja yang pergi duluan”. Ibu pun pergi diantar seorang teman ke terminal memendam rasa haru yang juga menderu di setiap kami berenam. Aneh, yang punya rumah malah pamitan kepada yang pinjam rumah. Hari keempatbelas pun kami pindahan, tugas harus dilanjutkan untuk dua pekan berikutnya.

Sesuai job desc, mencari rumah adalah tugas koordinator. Jadi berburu pondokan kembali menjadi tugas saya kedua. Kejadiannya masih di kabupaten yang sama namun agak berjauhan karena beda kecamatan. Ternyata tak lebih mudah tugas kedua dari yang pertama. Hari pertama bertemu kepala desa tapi rumahnya tak bisa dipinjam, direkomendasikanlah sebuah rumah besar milik ibu bidan. Saat dilihat nampak beberapa anjing berkeliaran, belum lagi cerita-cerita yang kemudian saya dengar bahwa di rumah itu sering menjadi tempat aborsi..Saya membayangkan suara anjing+isu aborsi akan menjadi kombinasi cerita yang cukup mengerikan sekaligus menggentarkan khususnya bagi 3 anggota tim kami yang perempuan..Akhirnya saya pun pulang tanpa hasil menggembirakan.

Hari kedua, ada rumah milik orang Bali, sayangnya tidak disewakan. Kalaulah disewakan rasanya teman-teman bakal protes mengingat suasananya terasa magis, dengan lampu temaram menembak lukisan-lukisan besar dan beberapa ornamen Hindu Bali. Lalu direkomendasikanlah sebuah tempat, tapi juga kurang memungkinkan. Cukup stress juga karena hari itu tinggal beberapa hari lagi menuju hari keempatbelas di rumah Ibu Sri. Perutpun memanggil untuk diisi karena jelas sudah over time jam makan siang. Saya mampir sebuah warung nasi, sebelum pulang saya bertanya apakah ada di sekitar sini yang bisa dipinjam sebagai pondokan. Ibu tersebut agak kebingungan, sampai mungkin karena kasihan beliau menawarkan. “Kalau mas mau silakan di rumah saya saja, tapi coba dilihat dulu soalnya rumahnya kecil. Tapi tunggu ibu nutup warung dulu ya” Kebetulan hari sudah ashar, waktu beliau segera kembali ke rumah.

Mungkin karena tak ada opsi, saya pun mengiyakan. Setidaknya dengan keramahannya sudah cukup memberi warta bahwa kami akan cukup betah disana. Ajaibnya, beliau juga bernama Sri. Kami pun berenam memiliki pengganti Ibu Sri dengan Ibu Sri (lagi). Sama-sama janda tapi yang ini karena ditinggal wafat suaminya. Sama-sama tinggal dengan seorang anak, tapi laki-laki. Dan sama-sama punya WARUNG NASI!

Dua pekan terisi dengan berbagai kesibukan yang penuh suka duka. Makin hari kedekatan kami bersama Ibu semakin hangat, beliau dalam usianya sekitar 60an tahun begitu relijius. Khas dengan karakter orang Jawa yang sabar dan pasrah. Tapi sekali lagi kejadian berulang jelang hari keempatbelas. Ibu Sri menangis tak kuasa menahan haru, serasa tak ingin ditinggal oleh kami berenam. Sedih..tapi gimana lagi?

Waktu berlanjut begitu cepat, saya pun menemukan lagi seorang bernama Sri. Kini sudah saya anggap sebagai kakak perempuan saya di perantauan. Sesama orang Jawa kami lebih akrab dalam aktivitas yang hampir sama. Kemampuannya mengelola, keterpercayaannya menjadi seorang pemimpin menjadikannya sebagai orang nomor satu di tempat kami bekerja. Tapi mbak Sri masih seperti yang saya kenal 8 tahun lalu, ceria dan menjadi pribadi yang hangat bagi siapa saja.

Takdir pun  berlanjut, ada Sri lagi di kehidupan pekerjaan saya. Finance officer ini cukup tangguh membersamai rintisan usaha kami dan makin hari saya makin mengenalnya sebagai pribadi yang gigih dengan berani mengambil resiko dan tanggung jawab hidup yang seharusnya tak perlu dipikul di umur semuda sepertinya. Saya hanya bisa terus menyemangati bahwa setiap badai akan berlalu dan tak harus menunggu lama semua akan berubah menjadi pelangi yang indah menyinari.

Empat Sri di atas hanyalah sebagian potret hati bahwa selalu saja ada ketegaran dalam diri perempuan, walaupun tetap sejatinya perempuan didominasi sensitivitas dan kelembutan.  Saya yakin tak harus menunggu 22 Desember untuk menyebut mereka sebagai pahlawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.