Sudah alamiahnya cinta akan berbuah rindu. Yang karenanya ratusan hingga ribuan kilometer dijalani untuk sebuah momen mudik lebaran. Rindu layaknya simpul yang mengaitkan antara pertemuan dan perpisahan, keduanya saling tertarik dan merenggang karena kesempatan dan kemampuan. Sempat, karena punya waktu. Mampu, karena bagaimanapun untuk melepas rindu perlu modal, baik yang bersifat finansial maupun non finansial.
Jika rindu itu penting, lalu apa yang kita rindukan?
Kala lebaran di Jogja, hampir selalu saya mampir sate dan tongsengnya mbah Margo. Ada sih yang mirip rasanya di Bandung, tapi selalu saja ada sensasi yang berbeda. Kadang soal rasa tak selalu mudah digantikan. Atau warung kupat tahu “Pak Budi” Kidul SGM di jl Veteran. Rasa kuahnya yang manis legit pedas selalu ngangeni, mengingatkan saat dulu ‘muda’ beraktivitas di sebelahnya.
Walaupun nampak melelahkan, saya sangat menikmati acara silaturrahim dari rumah ke rumah saudara di kampung. Kadang sehari bisa lebih dari 10 rumah dikunjungi, tentu harus disiapkan ruang di perut karena hampir setiap rumah menyediakan makanan dari yang ringan sampai yang nendang.
Bapak saya biasanya sebagai kepala rombongan dari sekitar belasan orang dari bayi sampai yang mulai tanggal gigi. Adem rasanya melihat sebelum pulang, bapak ‘matur’ alias menyampaikan salam maksud kedatangan kepada keluarga tuan rumah. Redaksinya hampir sama, yang pertama menyampaikan salam silaturrahim, yang kedua mewakili semua anak, istri, keponakan, cucu menyampaikan permohonan maaf lahir batin. Sang sohibul bait pun membalas dengan terima kasih atas kunjungannya dan mendoakan semua senantiasa dalam kebaikan.
Kalau ada waktu, saya kadang menyempatkan mampir ke sekolah saya tempat belajar 6 tahun lamanya. Muallimin namanya, dulu khas dengan arsitektur Belanda yang setelah rusak akibat gempa Jogja 2006 kini telah dipugar menjadi bangunan megah di timur perempatan Patangpuluhan. Betul sih lebih modern, namun seperti ada yang hilang. Saya kenalkan kepada anak-anak bahwa disinilah ayah dulu belajar, harus mandiri mulai nyuci sampai menyeterika karena harus tinggal di asrama. Kadang ada guru atau pegawai yang masih kenal, kita saling bertukar kabar dan hampir selalu saja ada pertanyaan, “Anaknya sekarang berapa?”
Rasulullah saw sendiri jika berkunjung ke Makkah selalu berusaha menyempatkan mengunjungi tempat-tempat yang menjadi ‘kenangan’ perjuangannya. Beliau juga suka menyampaikan salam untuk para sahabat Khadijah, istri yang sangat beliau cintai dan telah berpulang mendahuluinya. Beliau pun menyabdakan, “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Dengan kata lain Rasulullah menstimulus kaum muslimin untuk antusias berkunjung ke Makkah walaupun beliau sendiri tinggal di Madinah. Beliau ingin umat Islam mengenang bagaimana risalah agama ini dimulai di Makkah dan senantiasa rindu dengan sang Nabi yang diistirahatkan terakhir di Madinah.
Dengan rindu kita merentang harap untuk segera bertemu. Makanya jika ada yang meninggal saya berusaha mendoakan semoga kelak dipertemukan kembali di surga-Nya. Karena di saat itu tak ada lagi ruang dan waktu yang memisahkan, tak ada tarif tuslah lebaran atau macet-macetan sepanjang perjalanan.
Rindu inilah yang menyelamatkan seorang Tsauban ra. dari api neraka dan dijanjikan mendapat tempat istimewa bersama Rasulullah saw di surganya.
Berikut saya kutipkan kemuliaan pribadinya.
Seorang hamba sahaya bernama Tsauban sangat ingin berjumpa dengan Rasulullah. Sebab, ia sangat mencintai dan mengagumi akhlak dan kepribadian Nabi akhir zaman tersebut. Namun, tempat tinggalnya sangat jauh, sehingga ia sulit berjumpa dengan Rasul SAW.
Pada suatu hari, Tsauban dapat bertemu dengan Rasulullah. Kesempatan itu digunakannya untuk mendengarkan segala nasihat dan tausiah dari Rasul SAW. Mengetahui Tsauban, Rasulullah tampak heran, sebab warna kulitnya tidak seperti warna kulit orang yang sehat, tubuhnya kurus, dan wajahnya menandakan kesedihan yang teramat mendalam. Rasul pun bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu seperti ini?”
“Wahai Rasulullah, yang menimpa diriku ini bukanlah penyakit, melainkan ini semua karena rasa rinduku padamu yang belum terobati, karena jarang bertemu denganmu. Dan, aku terus-menerus sangat gelisah sampai akhirnya aku dapat berjumpa denganmu hari ini,” ujarnya.
“Ketika ingat akhirat, aku khawatir tidak dapat melihatmu lagi di sana. Karena, saya sadar bahwa engkau pasti akan dimasukkan ke dalam surga yang khusus diperuntukkan bagi para nabi. Kalaupun toh saya masuk surga, saya pasti tidak akan melihatmu lagi, karena saya berada dalam surga yang berbeda dengan surgamu. Apalagi jika saya nantinya masuk neraka, maka pastilah saya tidak akan dapat melihatmu lagi selama-lamanya,” tukas Tsauban. Mendengar curahan hati si budak Tsauban tersebut, Rasulullah pun menjawab, “Insya Allah engkau (berkumpul) bersamaku di surga.”
Lain halnya dengan sahabat Bilal ra, menjelang wafatnya istrinya senantiasa sedih menangisinya. Tapi raut muka Bilal yang indah, justru nampak berbahagia. Istrinya sedih karena merasa akan berpisah dengan Bilal di dunia. Sementara Bilal berbahagia, karena dia merasa akan segera berjumpa dan bertemu dengan kekasihnya tercinta ; Rasulullah Saw.
Sahabat Abubakar yang mulia pernah berkata, “Jika aku mati nanti, tak seorang pun akan melihatku. Sungguh bagiku malam-malam yang paling bahagia bagiku adalah malam kematianku. Karena aku segera bertemu denganmu, duhai Rasulullah.” (HR Ahmad). Al Wasithi pernah menuliskan, “Penyebab kematian Abubakar adalah wafatnya Nabi Saw.” Sepeninggal beliau, Abubakar selalu dirundung rindu pada Rasulullah.
Usai Ramadhan ini mari kita tengok kembali siapa-siapa yang telah menjadi jalan kita menjadi seperti kita hari ini. Mungkin orang tua kita, keluarga kita, guru kita, sahabat-sahabat kecil kita. Namun jangan lupa kampung asal kita adalah akhirat dan cepat lambat kita akan segera kembali untuk mengunjunginya. Semoga Allah kumpulkan kita kembali di jannah-Nya dengan orang-orang yang kita rindu di dunia. Tak hanya bersama orang tua namun juga bersama Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Selamat Idul Fitri, taqobbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin.