Apa yang membuat kita merasa penting untuk bertanya?
Sebenarnya ini ‘pertanyaan’ yang juga tidak terlalu penting. Namun saya terusik dengan pernyataan imam Ja’far ash Shadiq (702-765 M), “Jelaslah, pengetahuan itu adalah kunci dan anak kuncinya adalah pertanyaan.” Mengapa saya mempertanyakan ini karena seringkali dalam forum ketika saya menjadi narasumbernya dan kita persilakan audiens untuk bertanya ternyata tak mudah juga menemukan acungan jari tanda bertanya. Eh, tapi itu juga bukan salah audiens, karena ketika saya menjadi peserta, saya sendiri juga tak selalu antusias untuk bertanya. So, saya sedikit menyimpulkan mengapa ya kok kita ini umumnya tak terlalu nyaman bertanya.
Saya tidak ingin memastikan apakah ini masalah pribadi atau kultur komunal di Indonesia. Yang pasti, ini fenomena yang tak terlalu baik untuk dibudidaya. Coba kita simak, betapa banyak hadits disabdakan Nabi bermula dari pertanyaan sahabat. Jawaban itulah yang kemudian ditetapkan menjadi syariat atau lebih luas secara universal kita sepakati menjadi pengetahuan yang objektif. Nabi pun kadang memancing para sahabat dengan pertanyaan, mari kita cuplik salah satunya.
Nabi bertanya pada sahabat “Kaum mukmin manakah yang keimanannya paling menakjubkan kalian?” Para Malaikat” jawab sahabat. Rasul menjawab, “Bagaimana mereka (malaikat) tidak beriman sedangkan Rabb mereka di sisi mereka” lalu sahabat menyebutkan para nabi. Rasul jawab, “Bagaimana (para nabi) tidak beriman sementara wahyu turun pada mereka” lalu sahabat mencoba lagi, “Kalau kami?”
Rasul bersabda lagi, “Bagaimana kalian (sahabat) tidak beriman sementara aku berada di tengah-tengah kalian”. Sahabat bertanya, “Lalu siapakah manusia yang paling menakjubkan keimanannya?” (bila bukan Malaikat, para Nabi dan mereka?)
Nabi menjawab, “Suatu kaum yang datang setelah kalian dan mendapati shuhuf (Al-Qur’an) dan mereka mengimani apa yang didalamnya” (HR Thabrani).
Coba lihat struktur ceritanya, Nabi bisa saja memberikan langsung kunci jawabannya, namun sepertinya beliau ingin ‘bermain-main dulu’ agar sahabat lebih penasaran dan kemudian secara kreatif menemukan solusinya. Nabi dalam konteks ini sedang membangun kultur diskusi, budaya ilmiah dimana saling terjadi interaksi. Rasanya kita pun sepakat bahwa bertanya tak selalu identik untuk mencari tahu, ia bisa berperan sebagai sarana untuk memberi tahu.
Saya teringat guru saya, namanya pak Zamzuri Umar (barangkali ada di antara pembaca juga mengenal?), ketika saya mulai diajar beliau saat awal masuk tingkat menengah atas (Aliyah) beliau selalu membuka kelas dengan tanya, “Ada yang ingin bertanya?”
Kami pun akhirnya terpicu untuk bertanya, kadang tak hanya bertanya tentang pelajaran yang beliau bawakan yaitu Sejarah atau Tata Negara namun juga topik seputar lain yang umumnya selalu bisa beliau jawab secara menarik dan memuaskan. Saking serunya sesi bertanya ini pernah beberapa kali malah memakan hampirseluruh jam pelajaran, saya amati beliau malah membiarkan, mungkin bagi beliau diskusi tersebut justru lebih bermutu daripada materi yang kadang hanya bersifat satu arah.
Tapi kembali ke fenomena kita sendiri, mengapa ya kita tahu bertanya itu perlu tapi tak riuh sebagai budaya. Dalam sebuah referensi saya menemukan ternyata orang Indonesia punya ciri khas, collaborative – introvert, artinya kita sebenarnya doyan berkomunikasi tapi karena introvert tidak diungkapkan secara verbal, melainkan menggunakan tulisan. Ini jelas sekali nampak ketika social media dan blackberry messenger menyerbu. Kita bisa berdebat tema-tema berat sampai penuh scroll panjang namun ketika bertemu keseruan itu malah tak terjadi.
Tak dipungkiri tak semua kita suka ditanya, itulah yang mempengaruhi ketika kita mendapat respons kurang baik dari yang ditanya kemudian membuat kita ragu dan tak nyaman bertanya, perilaku ini lama kelamaan mebentuk sikap dan kebiasaan. Kita menjadi segan bertanya jangan-jangan pertanyaan kita membuat yang ditanya tak berkenan. Padahal salah satu cara mendapatkan ilmu adalah dengan bertanya.
Budaya dimana seorang anak dibesarkan menurut saya walaupun tidak selalu dominan akan mempengaruhi bagaimana kebiasaan bertanya ini ditumbuhkan. Suatu kali saya sempat terperanjat ketika melihat seorang anak bertanya kepada ibunya dan yang didapat anak bukan jawaban melainkan dampratan. Si ibu tak suka ditanya-tanya terus dan malah berteriak kepada si anak dengan kata-kata, “Gandeng!!” Ini ‘umpatan’ Sunda yang mungkin kalau diIndonesiakan artinya, “Berisik!” Tentu berkebalikan sekali dengan sebuah iklan tv menyentuh sekali yang diproduksi oleh Petronas dalam momentum lebaran.
Dalam iklan berjudul “Burung Murai dan Ayahanda” tersebut dikisahkan ada seorang ayah menyendiri di halaman rumah saat hari raya. Sang anak mengajak sang ayah masuk untuk berkumpul ke dalam rumah, tiba-tiba seekor burung murai pun hinggap di satu dahan dan menarik perhatian sang ayah. “Burung apa?” lalu dijawab oleh si anak, “Burung Murai”, ayahnya pun kembali bertanya, “Burung apa?” dijawab lagi, “Burung Murai?” Sampai berulang beberapa kali yang membuat si anak jengkel. Sang ayah pun kemudian menyodorkan sebuah buku catatan harian milik ibu sang anak, yang mengisahkan suatu masa sang anak tadi ketika masih kecil bermain dengan ayahnya, ketika ada sebuah burung sang anak pun penasaran ingin tahu dan bertanya, “Burung apa?” “Burung Murai” jawab sang ayah, begitu terus berulang-ulang tapi sang ayah tetap menjawab dengan riang. Terakhir adegan ditutup dengan sang anak memeluk ayahandanya dan mengaku khilaf atas apa yang tadi dilakukannya. (selengkapnya Anda bisa melihat videonya di link http://www.youtube.com/watch?v=1ZXO8mGfDr4)
Kemampuan bertanyalah yang membuat seorang wartawan mendapatkan berita untuk ditulisnya. Polisi untuk menetapkan saksi atau tersangkanya. Para kepala SDM kepada calon pegawai melalui wawancara kerja. Dan kelak yang tak bisa kita mengelak adalah kita bakal ditanya di alam kubur oleh malaikat Munkar dan Nakir, wallahu a’lam mungkin demikian juga nanti ketika kita dihisab di padang makhsyar. Proses bertanya dan ditanya bahkan terekam sebagai kejadian paling purba yang dialami setiap insan saat ruh ditiupkan. “Alastu bi rabbikum?” (Akukah Tuhan kamu?) “Qaaluu balaa syahidna” (Ya, kami bersaksi Engkaulah Tuhan kami).
Demikian halnya ketika sebentar lagi kita akan memilih wakil rakyat dan presiden kita, kita perlu banyak mempertanyakan benarkah kita akan dipimpin oleh orang yang tepat dan amanah. Saya sendiri masih begitu banyak tanda tanya, semoga itu tanda yang baik, bukan sebaliknya.