Siang itu sebuah ringtone berbunyi, lagunya ‘Alhamdulillah’ yang dinyanyikan Opick feat. Amanda. Ini adalah salah satu lagu favorit saya, sudah agak lama tapi evergreen rasanya. Ringtone yang biasanya hanya terdengar sepotong bait reff menjadi hampir utuh satu lagu karena memang sang empunya hape tiada kunjung mematikannya. Sampai sini jelas tidak masalah, tapi menjadi cukup mengganggu ketika kejadian ini terjadinya adalah saat sholat jamaah, dan menjadi lebih masalah ketika hal ini terjadi di masjid Nabawi, Madinah. Agak sulit mengelak untuk mengatakan bahwa empunya hape bukan orang Indonesia walaupun kemungkinan itu bisa saja terjadi, lagu-lagu kita juga marak terdengar di Singapura apalagi Malaysia. Tapi sekali lagi ‘tersangka’-nya besar kemungkinan memang orang kita.
Husnuzhon saya, beliau ini khawatir sholatnya menjadi batal gara-gara melakukan gerakan selain sholat dengan memencet tombol merah hapenya. Akibatnya mengorbankan kekhusyukan jamaah lainnya, yang jumlahnya mungkin melebihi sholat Jumat di masjid raya Bandung walaupun itu hanya sholat Dhuhur. Padahal kalau dipelajari lebih lanjut kekhawatiran batal sholat ini tidak perlu terjadi, justru yang harus dikhawatirkan adalah terganggunya jamaah jika tidak segera kita matikan.
Kejadian atau mungkin lebih tepatnya inspirasi kedua, masih dari masjidil Haram dan Nabawi. Mungkin ini bukan sesuatu yang baru khususnya bagi pembaca yang sudah berhaji atau umrah yaitu tentang jarak waktu antara adzan dan iqomat. Di kedua masjid suci tersebut bahkan juga banyak masjid di tanah Arab, sholat didirikan setelah 15-30 menit setelah azan dikumandangkan. Rata-rata sekitar 20 menit. Waktu yang longgar ini memberi keleluasaan bagi para jamaah untuk sholat sunnah juga memberi ruang kesempatan bagi jamaah yang jauh jaraknya dari masjid untuk tidak terlambat mendapatkan sholat berjamaah.
Saya mencoba mengingat kembali kisah sahabat Umar bin Khaththab r.a ketika asik memantau panen kebunnya sampai menyebabkan terlambat sholat berjamaah, sebagai bentuk rasa bersalahnya kemudian beliau menginfakkan satu kebun kurmanya. Jika melihat dari longgarnya jarak waktu antara azan dan iqomat mungkin guilty feeling beliau menjadi wajar sekali. Sudah leluasa, kok ya masih terlambat. Tentu jika memang dahulu jarak waktunya juga seperti sekarang ini. Karena setahu saya belum ada referensi khusus tentang berapa menit pastinya. Dalam shahih Bukhari terdapat judul bab “Berapa lama jarak antara azan dan iqomah?”, akan tetapi menurut beliau tidak ada dalil yang kuat yang membahas hal ini, oleh karenanya beliau hanya menyebutkan hadits dari Abdullah Ibnu Mughaffal, Nabi bersabda, “Ada sholat sunnah di antara azan dan iqamat”, beliau ucapkan sebanyak tiga kali, saat yang ketiga beliau mengucapkan, “Bagi yang menghendaki.” (HR. Bukhari no 624). Beda sekali ya dengan di sini, kita sudah berusaha mengejar rakaat pertama tapi masih saja terlambat karena iqomat terlampau cepat disuarakan. Tentu tidaklah harus selalu mengikuti 20 menit, cukuplah minimal 10 menit sebagai bentuk toleransi kita agar tidak banyak yang terlambat sholatnya.
Kedua hal di atas, tentang ringtone dan tempo menegakkan jamaah sholat bisa memberi hikmah kepada kita tentang toleransi. Tentang tenggang rasa yang hari-hari ini nampaknya semakin terkoyak karena sikap saling mementingkan diri sendiri, selfish. Akibatnya akan semakin subur yang namanya budaya permisif, dimana karena saling cuek, kita jadi serba membolehkan, toh yang penting tidak mengganggu saya dan keluarga saya..Atau malah selfish dalam bentuk sebaliknya, gak peduli orang lain terganggu kan sekarang era kebebasan. Jika kita kembali kepada ajaran Nabi, sangat dijaga yang namanya hak dan kehormatan setiap manusia. Definisi orang baik pun sederhana, yang orang lain tidak merasa terganggu dari lisan dan perilakunya.
Saya rasa kita bisa melakukannya..