Kata seorang kawan, negeri ini kebanyakan hari, selain sudah punya hari sejak Ahad sampai Sabtu, masih juga ada puluhan hari-hari peringatan. Salah satunya yang biasa diperingati bulan Mei ini, Hari Kebangkitan Nasional. Jika dihitung dari tanggal perhitungan awalnya yakni 20 Mei 1908 berarti tahun 2015 ini kita memperingatinya yang ke-107 tahun. Rasanya satu abad lebih kita telah cukup memberi penghormatan pada Budi Utomo (ejaan Suwandi, dahulu Boedi Oetomo). Kita diajarkan, disosialisasikan dan didengung-dengungkan bahwa perkumpulan Budi Utomo adalah cikal bakal kebangkitan bangsa ini mewujudkan kemerdekaannya.
Jika kita masih percaya pesan, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” maka tentu kita tak alergi dengan sudut pandang baru. Tak perlu meriset lama, sekali klik di internet Anda dapat mudah mendapat informasi bahwa Budi Utomo yang didirikan di Gedung STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia pada tahun 1908 ini adalah organisasi yang didirikan oleh para pegawai negeri yang digaji oleh para kolonial Belanda. Garis perjuangannya sesuai pasal 2 Anggaran Dasar Budi Utomo dituliskan bahwa tujuan dari Budi Utomo adalah menggalang kerjasama agar memajukan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.
Dalam praktik pergerakannya Budi Utomo pro kerjasama dengan Belanda, tidak secara tegas melakukan perjuangan melalui jalur politik. Keanggotaannya relatif lokal kelompok etnis tertentu dan cenderung terbatas di kalangan ningrat.
Dulu saat sekolah saya sempat menggugat, mengapa baru sejak abad 20 kita menghitung tonggak kebangkitan? Sementara di sisi yang lain kita juga mengenal banyak para pahlawan jauh hadir sejak sebelum abad ke-16. Mengapa tidak dimulai saat kerajaan Minahasa melawan Portugis pada tahun 1512? Oh mungkin karena kurang heroik, okelah bagaimana kalau kita catat saja per tahun 1550 dimana Ratu Kalinyamat, putri dari Sultan Trenggono raja Demak, mengirimkan 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal, memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari bangsa Eropa. Saat itu armada Jepara bergabung dengan armada pasukan Persekutuan Melayu mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Saking hebatnya, nama Ratu Kalinyamat ditulis dalam sejarah Portugis dengan julukan menggetarkan hati, Rainha de Jepara, Senora Pade Rosa se Rica (Ratu Jepara yang penuh kekuatan dan kekuasaan).
Mungkin ada argumentasi lain, mereka kan berjuang masih dalam konteks kerajaan, belum me-nasional, jadi nggak bisa dong disebut titik tonggak kebangkitan. Ok deh, tapi mengapa kemudian Budi Utomo yang dipilih? Mengapa tidak justru Sarekat Dagang Islam, yang berdiri lebih dulu pada 16 Oktober 1905 dengan Haji Samanhudi sebagai foundernya. Apakah karena ada atribut Islam disana? Padahal SDI atau kemudian pada tahun 1912 oleh HOS Tjokroaminoto diubah menjadi Sarekat Islam/SI memiliki platform yang lebih luas untuk perlawanan atas kolonialisme asing, keanggotaannya lintas suku, bergerak multi sektor mulai ekonomi, sosial hingga politik, tidak elitis, dan sejatinya lebih memenuhi prasyarat sebagai organisasi modern yang terbuka.
Mari kita lihat ‘hari’ yang lain. Setiap kapan kita peringati Hari Pendidikan Nasional? Ya, 2 Mei. Darimana sejarahnya, dari hari lahir Ki Hadjar Dewantoro tepatnya 2 Mei 1889 yang didaulat oleh Pemerintah (saat itu hingga hari ini) sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Apa karya utama beliau? Sekolah Taman Siswa. Kapan sekolah ini berdiri, 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pertanyaannya, apakah Taman Siswa adalah sekolah “modern” pertama yang hadir di Indonesia?
Kalau menggunakan pendekatan kepioniran artinya yang lebih dahulu hadir itulah yang diprioritaskan, mengapa tidak KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang telah merintis Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah pada 1 Desember 1911 dengan murid pertama sebanyak 29 orang dan enam bulan berikutnya menjadi 62 siswa. Dalam perkembangannya, KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya mendirikan sekolah modern pertama, dalam pengertian mengadopsi sistem kelas dimana ada murid dan guru dengan konsep meja kursi dan papan tulis, dengan kurikulum pendidikan terintegrasi antara pendidikan agama dan umum serta penjenjangan kelas yang lebih jelas. Semakin jelas kiprahnya setelah lahir Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah pada tahun 1918 yang awalnya bernama “Qismul Arqa” di Kampung Kauman Yogyakarta (Alfian, 1989).
Sepanjang sejarahnya, Madrasah al-Qismu al-Arqo mengalami beberapa kali perubahan nama. Secara kronologis, perubahan nama ini dimulai dari Madrasah al-Qismu al-Arqo kemudian Hogere Muhammadijah School, kemudian Kweekschool Islam dan menjadi Kweekschool Muhammadijah dan akhirnya berdasar hasil kongres Muhammadyah ke-23 pada 19-25 Juli 1934 menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah.
Lalu mengapa kita enggan menghargai seorang ulama besar bangsa ini sebagai Bapak Pendidikan Nasional? Jika dilihat dari waktu lahirnya, Ahmad Dahlan lebih dulu, yakni pada 1868, sedangkan Ki Hadjar Dewantoro baru lahir pada 1889. Kini eksistensi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan telah teruji dan terus berkembang di pelosok Indonesia. Tanpa bermaksud mengurangi jasa dari Ki Hadjar, namun kita perlu membaca kembali sejarah kita. Mengapa Taman Siswa (saat itu) dengan Ki Hadjar sebagai tokohnya yang cenderung mengajarkan pendekatan kebatinan dan Theosofi Barat bahkan diduga dekat dengan pengaruh Freemasonry yang menolak memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum, dan menggantikannya dengan pendidikan budi pekerti, lebih mendapat tempat dari sekolah Muhammadiyah yang bercorak Islam dan Nasionalis? Mengapa peran madrasah dan pondok pesantren yang dikelola oleh banyak kyai dan ulama Nahdlatul Ulama tidak ditetapkan menjadi milestone kebangkitan pendidikan nasional?
Masih banyak sebenarnya yang penting dikritisi walaupun untuk itu kita harus siap-siap mendapat stigma alias stempel sebagai penggugat kesiangan. Karena semua dianggap sudah baik dari sononya, buat apa dipermasalahkan. Toh setiap pahlawan harus dihormati dan diingat yang baik-baiknya saja. Tulisan ini tidak dalam nalar meletakkan jasa para pahlawan tersebut dalam derajat yang tak bermanfaat. Sesekali sinyal kesadaran umat dan bangsa ini perlu dibangunkan, perlu disiumankan dari pingsan lama akibat sistem pendidikan dan referensi sejarah yang berat sebelah.
Film Guru Bangsa : Tjokroaminoto yang telah dirilis setidaknya memberi angin segar bahwa sejarah bangsa ini bukan hanya menjadi panggung besar bagi sebagian tokoh yang selama ini terlanjur dibesar(-besar)kan. Dengan referensi baru kita pun mendapat sudut pandang baru bahwa ternyata para ulama, para tokoh pergerakan nasionalis relijius, cendekiawan agamawan juga berhak dicatat sebagai founding fathers bangsa ini. Kolektivitas perjuangan inilah yang semoga mendewasakan kita, agar tak ada yang merasa lebih berjasa, tapi juga sebaliknya tidak melupakan jasa orang-orang yang seharusnya mendapat tempat lebih karena memang kontribusinya lebih luar biasa.
Merdeka!