Saya pernah menggugat, mengapa yang disebut pahlawan hari ini umumnya adalah mereka yang dalam statusnya terhitung sebagai kalangan priyayi, ningrat, berpangkat, terpelajar. Mengapa jarang ada orang biasa saja, yang ndeso, yang mungkin justru sangat berperan menjadikan seorang yang kini disebut pahlawan itu menjadi pahlawan. Mungkin yang jadi gurunya, yang jadi pendamping hidupnya, yang menyiapkan senjatanya atau misal yang bersihin kudanya.
Karena ini bukan pelajaran sejarah, saya mau memilih jawaban sendiri. “Karena dahulu belum ada Youtube!” Coba bayangkan kalau waktu itu ada youtube kita bisa melihat bagaimana sih kehidupan para pejuang tersebut lebih dekat, mungkin kita juga bisa mengenal sosok-sosok penting behind the story para pahlawan tersebut. Walaupun agak ngeri juga mengimajinasikannya, gimana kalau pas merekam gambar eh malah ditembak penjajah. Atau waktu di-upload setengah ke youtube keburu ketahuan musuh, kita langsung marah-marah, “Hey kenapa belum beres 100% kok sudah di-dor sih? Tega bener deh kalian!”
Atau misal lagi rapat pengepungan diupload di twitter tapi lupa mematikan geo tagging, wah bisa ketahuan lokasi markas persembunyian kita. Apalagi mengupload foto dapur umum di instagram, bisa-bisa selain nge-like, penjajah bisa ikutan comment, “Kayaknya menu masakan kalian seru tuh, ikutan doong?”
Setelah Nabi, mungkin teknologi adalah peubah paling sukses dalam sejarah sosial manusia, termasuk teknologi dalam berkomunikasi. Dalam tulisan singkat ini saya ingin mengangkat sebuah ide dari maraknya interaksi melalui media kamera. Menariknya ternyata kamera pertama kali dirancang oleh seorang penemu muslim, ia adalah Ibnu al-Haitham, lahir di Basrah Irak (965-1039 M). Pada akhir abad ke-10 M, al-Haitham berhasil menemukan sebuah kamera obscura. Itulah salah satu karya al-Haitham yang paling menumental. Dunia memberinya gelar kehormatan sebagai “Bapak Optik.”
Penemuan yang sangat inspiratif itu berhasil dilakukan Ibnu al-Haitham bersama Kamaluddin al-Farisi. Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera obscura. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana matahari. Untuk mempelajari fenomena gerhana, Ibnu al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui permukaan datar.
Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai “ruang gelap”. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Teori yang dipecahkan Al-Haitham itu telah mengilhami penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton.
Hari ini peran kamera menjadi semakin sentral ketika media sosial semakin memfasilitasi interaksi komunikasi bergambar. Dulu foto lebih umum dimaknai sebagai produk dokumentasi, mungkin masih ada yang mengalami saat sekolah dulu jadi seksi Pubdekdok. Bagi yang tidak tahu kepanjangannya saya pastikan Anda lahir era 90-an atau malah 2000an. Intinya, foto saat itu adalah output rekam dari suatu kegiatan atau kejadian. Kini fungsi tersebut tetap ada namun lebih berkembang karena foto adalah pesan itu sendiri, yang mampu ‘bersuara’ karena digerakkan dengan aplikasi teknologi. Gambar-gambar tersebut dibunyikan melalui narasi yang diketik ‘semau’nya oleh peng-up load nya, dan semakin menarik ketika foto tersebut semakin banyak disuka dengan hingar bingar komentar.
Dulu ingin motret ya harus dari kamera, sekarang semua serba konverjen. Era 90-an kita surprise sekali ada handphone bisa buat berfoto ria. Kini makin canggih lagi, kamera ada GPS-nya, bisa untuk berinternet, bisa buat sms, bahkan sekarang juga bisa buat bertelepon, apa yang dulu ada di film James Bond sekarang benar-benar ada alatnya.
Lalu apa dong idenya?
Dengan aplikasi foto instan, sebenarnya setiap user seperti menjadi CCTV untuk followernya. Jangankan disuruh, tidak dimintapun kini semua dikabarkan. Pertanyaannya, mengapa karakter yang sangat “journalism” ini tidak dioptimalkan menjadi sebuah gerakan sosial yang nyata? Misal ; coba RZ buat akun di Instagram, aplikasi ini bukan keharusan, lalu minta setiap donatur, mitra, karyawan, relawan follow ke akun tersebut.
Gerakkan follower kita untuk memotret realitas yang harus saling mendapat perhatian, misal : kondisi keluarga kurang mampu yang anaknya yatim, sarana kesehatan yang masih kurang layak, saluran air atau kondisi sungai, dan sejenisnya. Buat hashtag misal #SenyumJuara, #SenyumMandiri, #SenyumLestari, #Senyum Sehat…ketika para member tadi saling melaporkan ini kan mirip seperti sensus yang bisa langsung dicarikan solusinya secara cepat, kasusnya riil dan sang pengirim gambar bisa sekaligus relawan yang membantu menjembatani supaya aksi solusi bisa cepat dilakukan. Inipun bisa jadi semacam ‘proposal’ bagi donatur yang ingin membantu, tinggal klik saja hashtag-nya, muncul semua foto dengan kategori yang sama.
Tapi jangan hanya kabar kurang menyenangkan, ajak juga follower kita menampilkan senyum-senyum keberdayaan, success picture dari mitra binaan dan sebagainya. Ini juga bisa sebagai media reporting kepada donatur dengan format yang simple, menyenangkan dan interaktif. Rasanya ini bisa juga meningkatkan trust kepada lembaga.
Masih banyak ide yang bisa dikembangkan. Point-nya adalah : narsis boleh, tapi harus bernilai tambah. Dengan kamera, harusnya kita bisa menjadi agent untuk membantu orang lain semakin bahagia. Saya yakin, kita bisa.