Dulu masa-masa SD ketika saya masih bisa banyak di rumah ada kesibukan yang selalu dibagi bapak buat kami tiga anaknya. Salah satunya yang paling penting adalah untuk mengurusi hewan-hewan piaraan keluarga. Mulai memberi makan lele, mengganti air minum burung-burung, sampai membersihkan kandang kelinci dan mengatur pakannya setiap pagi dan sore. Antara susah dan senang kami harus mengelola semuanya. Susah karena harus selalu berkepung dengan kotoran tapi juga senang kalau melihat anak-anak kelinci terlahir belasan, atau lele-lele sudah cukup pantas masuk wajan.
Anda mungkin punya pengalaman yang lebih menyenangkan. Entah dengan binatang apapun. Tetapi menjadi (sedikit banyak) pikiran buat saya bila melihat bagaimana anak-anak sekarang dibesarkan. Bagaimana mereka terjauhkan dari sebuah kondisi lingkungan yang sebenarnya sangat berguna untuk menumbuhkan kasih sayang. Mungkin akan ada banyak alibi, “Lho kan kami nggak punya lahan”, atau “Tuh liat Pak Fulan aja burung-burungnya malah ngerusakin genting, sampeyan orang desa sih makanya enak bisa miara apa aja!” Wah, berabe juga tuh kalau saya dibilangin gitu. Bukan, bukannya saya mengharap setiap keluarga harus punya hewan ternakan di rumah. Saya sangat bisa memahami bagaimana repotnya hidup di kota dengan petak tanah yang sempit, belum lagi suara-suara parau tetangga yang mual dengan bau kotoran piaraan kita.
Saya hanya ingin membuka kesadaran bagaimana masa anak-anak adalah masa terdini dimana setiap kita yang lebih tua bertanggung jawab menanamkan etos kerja dan penumbuhan empati. Pengenalan pada binatang hanyalah salah satu contoh yang saya jadikan bagaimana tarbiyah itu bisa dimulai. Betapa banyak kita masih sering cuek untuk bercengkrama dengan adik kita, putra-putri kita untuk mengajak mereka berputar-putar melihat betapa fauna yang diciptakan Allah begitu beragamnya.
Betapa maukah kita memperkenalkan beda ini ikan bawal, itu ikan nila, ini burung nuri, kalau bentuknya lebih kecil namanya parkit, atau ini belut jadi kamu jangan takut, dan semisalnya. Kadang tidak sampai hati saya melihat seorang bocah di sebuah pasar merengek minta dibelikan anak ayam pada bapaknya, tapi dengan ketus si bapak bilang, “Buat apa ayam, bikin kotor rumah aja!”. Saya tertarik dengan iklan sebuah deterjen yang memberi pesan bahwa dalam kotor itu ada belajar. Kita begitu tak tega melihat lantai rumah kotor sebaliknya begitu tega membiarkan anak sendiri terkatup sedih dengan harapan berkasih sayang yang hilang. Kesempatan belajar berempati, belajar tanggung jawab harus terkalahkan.
Begitu juga dengan pengenalan pada dunia flora, dunia tanaman. Bukankah Adam memiliki kelebihan dibanding malaikat dalam hal keunggulannya bisa menunjukkan dan mengidentifikasi apa nama dan jenis ciptaan-Nya. Sekali lagi anak-anak/adek-adek kita, bisa jadi juga karena sistem pendidikan kita, masih begitu asing dengan biota hayati di sekelilingnya. Anak-anak kita hanya dikenalkan jenis tanaman dan hewan lewat gambar-gambar berbingkai pigura. Imaji mereka hanya terekam dari tontonan gambar cetak atau gerak visual di televisi.
Kenapa untuk pelajaran Biologi dasar anak-anak tidak diajak saja ke Kebun Binatang atau Kebon Raya. Anak-anak bisa benar-benar membuktikan bahwa kelinci itu panjang kupingnya, pendek bahkan sering bengkok ekornya. Kenalkan pula jenis makanan apa saja yang jadi kegemarannya. Atau dipertunjukkan bahwa ternyata ada tanaman yang setiap bulan bisa berganti-ganti warna bunganya. Atau kalau sekolah tidak mampu biaya ke kebun raya, ajak saja ke sawah. Kenalkan bagaimana telur katak menjadi kecebong lalu melepas ekornya menjadi katak dewasa. Atau ajak mereka berpikir mengapa semakin banyak tikus menyerang sawah. Oo, mungkin karena manusia terlalu kejam membunuh ular-ular sawah.
Maka marilah kita memperhatikan kembali anak-anak kita. Jangan sampai dunianya begitu sunyi dari mengenal guratan alam. Jangan sampai generasi anak-anak kita menjadi generasi yang terdidik untuk menguatkan egoismenya. Lebih asyik bermain dengan video game personal yang lebih sering mengutamakan permusuhan, kekerasan dan menang (ada trik cheat nya lagi!). Jarang mereka dikenalkan untuk berlatih memiliki tanggung jawab perawatan, tidak terbiasa dengan kasih-mengasihi dan kerja sama dengan sesama. Walaupun mungkin masih cukup debatable, saya menemukan mengapa empati semakin jarang dan mahal di kalangan anak-anak kita boleh jadi karena anak-anak tidak terbiasa dan dibiasakan untuk mencintai. Binatang dan tanaman sebagai media pembiasaannya pun belum cukup direspons dan disediakan oleh pihak yang lebih tua. Kalaupun tersedia kadang anak dikonsentrasikan pada kebutuhan produksi yang artinya memelihara sebatas tuntutan mencari keuntungan ekonomi. Orang tua belum menjadi guide bahwa bocah mereka harus menjadi penggembala (cah angon) yang bertanggung jawab dengan sadar. Karena bagaimanapun juga mereka kelak akan dewasa dan akan menggembala amanah-amanah yang mungkin lebih berat dari bapak ibunya.