JENANG & JENENG

Seorang bapak suatu kali saya tanya, “Mengapa Bapak mau jadi kepala desa, kan sudah enak jadi pengusaha, ekonomi ya lumayan mapanlah?” Beliau menjawab sambil tersenyum, “Manusia itu mengejar dua hal, jenang dan jeneng.” Saya mencoba menerjemahkan, bukan karena beliau sampaikan dalam bahasa Jawa tapi lebih pada makna dari pernyataan tersebut.  Jenang adalah nama makanan khas Jawa yang terbuat dari santan kelapa, tepung ketangula pasirgula merah, dan garam (kalau salah ya maaf, saya cuma ngutip wikipedia).

Jenang mirip dodol tapi lebih lembek, simbah saya dulu sering buat tapi ibu saya walaupun pinter masak sudah menyerah untuk menekuni pembuatannya, karena lama dan capek sekali mengaduknya. Belum lagi harus berkepung dengan asap dan api kayu bakar karena konon tak cukup enak kalau dimasak menggunakan tungku minyak atau kompor gas.

Jeneng sendiri artinya nama. Dalam pemaknaan yang lebih luas saya kemudian paham, jenang lebih dimaknai sebagai kekayaan, karena jaman dulu di Jawa mungkin jenang sudah dihitung makanan elit. Sementara jeneng diterjemahkan sebagai popularitas, kedudukan dan sejenisnya. Jadi manusia naluri syahwatnya memang mengejar kekayaan dan popularitas.

Bapak yang saya tanya tadi, adalah seorang pengrajin gamelan dari sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah, tepatnya Sukoharjo, saat itu beliau sudah jadi kepala desa dan ingin maju untuk periode kedua. Nampaknya bagi beliau, keharuman nama itu penting dan karenanya harus serius diperjuangkan. Sikap ini jelas tidak bisa dipersalahkan, karena menjabat dua periode itu sah, yang tidak sah itu kalau masih bernafsu menjabat berkali-kali sampai membentuk rezim, apalagi jika sampai tak disuka dan tak didukung rakyatnya.

Dalam Ramadhan kemarin kita juga mendapatkan pelajaran, bagaimana syahwat politik begitu mengemuka ketika barisan sisa orde lama Mesir diwakili Menhan Jendral Abdul Fatah Al Sisi mengkudeta Presiden Mohamed Mursi. Rasanya kalau uang, begitu banyak rezim Mubarok menggarong uang rakyat, belum lagi suntikan besar dari negara-negara Timur Tengah pro status quo seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Masih kurang? Ya, untuk itulah perlu kekuasaan.

Cerita pun berlanjut dimana kepentingan si jenang dengan si jeneng dipersatukan, tentu tak semua sepakat dengan pilihan narasi. Bagi pro Mursi, ini adalah kudeta, bagi Al Sisi ini adalah kemenangan Revolusi. Bagi pro Mursi Revolusi hanya ada tanggal 25 Januari 2011, bagi kaum liberal ini adalah suara pembebasan. Tapi subjektivitas perlu dipilih, bahkan didukung, karena subjektivitas berjamaah akan mendekati objektivitas. Dan rasanya hanya orang yang buta yang tak sepakat bahwa itu semua adalah kudeta.

Tak ada yang salah dengan kekuasaan, bahkan sangat dinantikan ketika umat ini semakin bak buih yang diombang-ambing gelombang. Kekuasaan seperti apa yang kita butuhkan? Kekuasaan yang mengendalikan. Yang tak hanya papan nama, tapi benar-benar berdaya cengkeram setiap lini untuk membawa perubahan yang berkemajuan secara amanah. Bukankah jika amanah, makin banyak kemakmuran yang bisa dibagiratakan?  Makin besar ‘jenang’ pendapatan nasional yang didapat?

Ramadhan tahun ini seharusnya membawa daya ubah. Mentransformasi syahwat menjadi bahan bakar kebaikan, yang terus menggebu bukan untuk maksiat tapi untuk menolong umat. Sungguh kita perlu kekuasaan, sungguh perlu kekayaan, yang dikelola di tangan para pemangku yang jujur dan kuat. Mesir menjadi contoh yang kasat mata, bagaimana kekuasaan yang sah perlu dipertahankan dengan segala cara namun tetap damai. Di sini, saat puasa, kita baru mampu bertarung dengan lawan imajiner, para demonstran damai tersebut berjibaku dengan tank baja dalam cuaca panas di siang hari dan dingin di malam hari untuk mengabarkan bahwa kekuasaan harus didapat melalui aturan main yang sah. Sebagaimana lomba atletik, ya larinya harus dari lintasan start, tak boleh menerobos di tikungan 20 meter sebelum garis finish dan kemudian bersorak-sorai akulah sang pemenang.

Saya tak bisa membayangkan apakah bakal ada salam-salaman mohon maaf lahir batin antara Jenderal Al Sisi, El Baradai dan Presiden Mursi. Ataukah mereka akan makan opor bareng seperti kita di tanah air? Saya tak perlu memastikan, apalagi jika kondisinya masih belum berujung pada pengembalian kekuasaan kepada pejabat yang sah, dimana democracy malah menjadi democrazy..

Selamat Lebaran…mari saling memaafkan, nikmati jenang ketannya, temani dengan teh panas seduh langsung dari poci asli. Wassalam.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.