MEMASARKAN JIWA MERDEKA

Saya betul-betul ingin tertawa! Sebuah poster ukuran A3 yang melekat di papan pengumuman di komplek saya rupanya ingin menjerat setiap mata. Dalam balutan warna biru yang dominan, poster ini sedang berjualan, setidaknya dengan bahasanya sendiri, akan sebuah lembaga studi pemasaran di kota budaya. Mungkin agak ‘kejam’ jika saya mengawali apresiasi pesan promosi ini dengan sebuah tawa. Tapi dengan segala hormat dan maaf kepada institusi pendidikan tersebut izinkan saya tertawa. Sebentar saja. Mengapa? Ada dua gambar ‘menarik’ yang ditampilkan agak mencolok di poster tersebut. Dan gambar itu adalah gambar seorang wanita.

Gambar pertama memperlihatkan foto seorang perempuan muda dengan tata busana ala sekretaris muda. Disekitarnya berkeliling atribut-atribut yang dianggap kantoran; mulai komputer, tembok bercat putih melambangkan keformalan, hingga kursi putar dengan roda yang bisa diajak main luncur-luncuran. Dengan santainya ‘mbak’ ini malah duduk di kursi menyilangkan kaki, judulnya “pose sedang membaca”, Saudara-saudara! Yang ‘menarik’, cara duduknya itu lho! Bukankah rok span yang sudah mini itu jadi ikut terangkat setengah tiang? (kayak bendera aja!)

Gambar kedua juga bernada sama. Mbak yang sama, dalam blus coklat yang sama cuma dengan sedikit tata rambut yang berbeda, rupanya ingin menambah judul baru posenya. Bagaimana kalau kita sepakati saja judulnya “membaca sambil berdiri”. Sekali lagi saya harus berkomentar, sebab dalam pose berdiri tersebut mengapa sang kaki harus diperankan lagi dalam adegan agak terangkat saat tubuh didudukkan sedikit di sudut meja?

Saya sama sekali tidak dibayar untuk beriklan, apalagi mayoritas pembaca juga sepakat dengan anti aurat diumbarkan. Saya memandang ini lucu (yang sebenarnya terdengar getir) karena apakah harus demikian sebuah promosi pendidikan dilakukan. Eksploitasi idenya sudah sejauh mana? Lembaga studi pemasaran lagi! Seolah-olah yang namanya marketer sukses adalah profil pribadi seperti gambar iklannya. Bukankah pemasaran yang baik harus pula memperhitungkan sistem nilai, budaya dengan ragam etika yang beredar di lingkungan psikografi target pasarnya? Gaya lokal? Kenapa tidak? Sebuah produk global saja berani memasang lagu dangdut demi mendekati pasar Indonesia. Kita sendiri malah berlomba-lomba berkiblat pada definisi putihnya kulit gadis Eropa. Padahal kulit perempuan Indonesia yang kuning langsat semi kecoklatan justru dianggap paling ekosotis sedunia.

Sebuah iklan memang harus eye-catching, harus mampu menyergap mata dengan headline yang bisa menarik partisipasi emosi baik lewat gambar maupun barisan kata. Masing-masing kita bebas membumikan setiap ide di kepala. Kalau ada banyak sahabat yang menyatakan kebebasan ide dibatasi pada lingkaran norma agama, saya ingin memberi sudut pandang yang berbeda.

Menurut saya kebebasan ide kita juga sangat dipenjara oleh industrialisasi dengan sederet logika komersialnya. Putar lagi kenangan kita awal millenium baru III dimulai. Saat itu ramai orang menyebut Y2K, Year 2000, abad baru era baru. Berbondong-bondong kita tersihir menjadikan warna silver sebagai idola. Seorang dosen saya dulu pernah menyatakan bahwa di Amerika ada sebuah institut yang membuat rekomendasi warna untuk tampilan gempuran budaya massa sedunia. So..sedikit banyak kita akhirnya tidak merdeka.

Maka izinkan saya bila mengutip sebuah catatan keberanian yang sangat menarik dari Istiadah dalam tulisannya Menjadi Santri Di Negeri Kanguru, salah satu kolom dalam buku Menjadi Santri Di Luar Negeri.

Mari saya kutipkan pengalamannya :

“Keyakinanku semakin mantap. Aku duduk di antara teman-teman Women’s Studies dengan tenang. Sampailah giliranku untuk memperkenalkan diri dan aspirasi feminisku. Aku katakan pada mereka, jilbab inilah simbol feminisku. Semua mata menatapku dengan heran. Aku bersemangat menjelaskan bahwa dengan berjilbab berarti kita tidak mau memberikan pandangan gratis kepada laki-laki iseng. Dengan jilbab berarti kita tidak tunduk dengan mode yang diciptakan laki-laki untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Dengan jilbab wanita Muslimah mempunyai kontrol penuh terhadap tubuhnya sendiri.”

Tentu saya tidak sedang menggurui dalam posisi apa penampilan Anda, apalagi pilihan mazhab Anda. Saya sekedar ingin mengingatkan bahwa kita harus tetap mandiri dalam kemerdekaan pilihan di atas bangunan kesadaran yang telah banyak dikonsultasikan pada beningnya hati dan jernihnya pikiran. Meminjam judul sebuah buku manajemen bisnis, “Different or Die”. Silahkan berbeda! Jangan sampai keberadaan kita seolah sama dengan ketiadaan kita gara-gara terperangkap dalam hegemoni idola-idola.#

Leave a Reply

Your email address will not be published.