MENAHAN KESEMPATAN

Bicara makanan, mendiang nenek saya pernah agak menggugat cara makan orang-orang ‘kota’ saat hajatan besar terutama saat pesta pernikahan. Menurut beliau, orang-orang itu nampak serakah, dari satu gubuk menu ke gubuk menu yang lain (maksudnya buffet kali ya), sambil berdiri- sajian tersebut seringnya dilahap sambil tergesa karena ingin mencicipi semuanya. Tak sedikit, para tamu tak kuasa menghabiskan makanan yang diambil karena kekenyangan atau salah kira, disangka enak ternyata sebaliknya.

Karenanya nenek saya paling ogah diajak ke pernikahan gedongan walaupun itu acara keluarga kami, kalaulah datang beliau lebih senang mojok bersama tim pemasak, sepertinya ada yang hilang dalam selera makannya. Mungkin terkesan udik, ‘kamseupay’tapi mungkin itulah yang dinamakan kearifan. Beliau lebih terbiasa dengan format penyajian jamuan di kampung, dimana hidangan sudah siap dalam bentuk piringan siap santap, diantar secara bergiliran oleh pramusaji, biasanya para pemuda-pemudi karang taruna. Para tamu tinggal duduk manis saja, makanan dan minuman hadir di depan mata. Nyaman, tapi biasanya terbatas menunya.

Tidak ada yang 100% benar dan salah dalam dua fenomena di atas. Saya menuliskannya sebagai wisdom kecil saja ketika Ramadhan sudah di depan mata. Bulan suci ini mendidik kita merasakan arti sahaja. Tak hanya karena kita sedang berkekurangan tapi saat berlimpah pun harus ditahan karena sepertinya di sebelas bulan lainnya kita nampak berlebihan, mungkin dalam menikmati makanan, dalam meluapkan ekspresi nafsu hingga barisan sensasi duniawi lainnya.

Nenek saya sepertinya hanya absen satu kali bulan puasa menjelang tutup usianya tidak mengantarkan seceret air teh hangat manis atau kadang hanya air gula jawa untuk para jamaah yang menunggu buka puasa di madrasah. Nanti ketika sampai madrasah (yang bersebelahan dengan masjid), makanan-minuman yang dibawa para jamaah dicampur dalam piring-piring plastik kecil walaupun kadang beda satu sama lain karena jumlahnya tidak merata. Rasanya mereka tidak menerjemahkan selera kelezatan dari rasanya, tapi dari kebersamaan dan tentu keberkahannya.

Merekalah orang-orang yang sengaja menunda kelezatan menu buka puasa di rumah demi meraih berkah meski hanya dengan sesuap dua suap ubi rebus ataupun urap sederhana. Apakah mereka berkumpul karena mereka tidak mampu? Rasanya tidak, mereka sedang menyengaja melakukan ‘lelaku’ bahwa Ramadhan adalah sebuah peristirahatan jiwa yang tak elok rasanya jika ternodai dengan indra kerakusan bernama makan, yang nyatanya secangkir air hangat manis dan sepotong pisang goreng sudah cukup menyirnakan semua dahaga dan beratus selera yang sebelum buka menggedor rasa. Ini hanyalah satu ujian takwa, yang berada sepi dari kerakusan dan keserakahan. Untuk itulah kita menahan walaupun kita berkesempatan.

Puasa menjadi guru yang tak mewujud dalam Kalam. Para ustadz, tayangan ruhani di media ‘hanyalah’ umbul-umbul yang menyemarakkan kedatangan tamu itu. Jangan sampai kita repot memasang umbul-umbul tapi lupa ternyata sang tamu sudah melewat begitu cepat.

Selamat ber-Ramadhan…Mohon maaf lahir dan batin.

Leave a Reply

Your email address will not be published.