FUNGSI REM

Dalam sebuah perjalanan ke Doha, Qatar beberapa waktu lalu, seorang sahabat yang pakar keuangan bertanya, lebih tepatnya menguji, kepada saya, “Apa guna rem dalam sebuah mobil?” jawab saya, tentu untuk menahan kecepatan kendaraan kita sehingga tidak menabrak. Soal kendaraan jangan ragukan beliau, hobinya pada motor besar dan kendaraan luxury menjadikannya pantas untuk memberikan pertanyaan tadi. Beliau tersenyum dan memberikan jawaban menurut versinya. “Fungsi rem untuk menambah kecepatan”. Saya terdiam masih agak belum mengerti. Jawaban saya rem untuk menahan kecepatan malah dijawab sebaliknya, untuk mempercepat kendaraan. Bagaimana bisa?

Sahabat ini melanjutkan lagi, “Bagaimana kalau sebuah mobil tanpa rem atau sang driver tidak yakin apakah remnya berfungsi normal atau tidak?” “Pasti kita tidak berani menggunakannya, atau kalau terpaksa jalan kita tidak akan berani memacu kendaraan kita dengan kencang. Kita akan berjalan pelan bahkan selalu di tepian jalan. Perjalanan kita pun jadi sangat melambat karena kita penuh kekhawatiran, jangan-jangan ada mobil lain yang tertabrak atau minimal tergores dari jalannya kendaraan kita. Konsentrasi jalan kita pun bukan ke depan, tapi melihat terus ke sebelah kanan dan kiri dimanakah ada bengkel yang bisa memperbaiki rem kita.

Sebaliknya, dengan adanya rem yang baik, atau jaman dulu kita sering menyebut remnya “makan” alias pakem,  kita merasa tenang dan yakin untuk melaju dengan kencang. Mau melesat di atas 100 km pun juga OK, karena semua telah dipastikan berfungsi dengan aman.

Saya melihat fungsi rem di atas sebagaimana juga syariat dalam kehidupan beragama kita khususnya sebagai muslim. Mungkin banyak yang masih beranggapan, beragama identik dengan banyak aturan, rigid, sana sini serba perintah, yang enak-enak dilarang dan persepsi lain yang terkesan memberatkan. Tapi mari kita coba bayangkan, jika semua tanpa aturan, kita malah jadi bingung dan ragu bertindak, karena tidak tahu pasti mana yang aman dan yang menjerumuskan.

Dengan adanya aturan yang menjadi “rem” kita malah bisa lebih kreatif dan eksploratif melakukan apa yang diperintahkan Allah kepada kita sebagai ikhtiar memakmurkan bumi ini. Karena sudah jelas, mana yang dilarang mana yang dibolehkan. Apalagi apa yang dilarang umumnya jauh lebih sedikit dari apa yang dianjurkan atau diperbolehkan.

Mau perjalanan jauh misalnya, kita jadi tenang karena ada aturan fikih yang memudahkan kita dalam bersafar. Kita tidak harus ngoyo untuk kejar-kejaran waktu karena sholat bisa dijamak, bahkan diqoshor. Dalam beberapa hukum juga diberikan alternatif, jika tidak bisa melakukan A, bisa melakukan B, jika masih tidak bisa, opsi C menjadi pilihan. Semua menjadi fasilitas yang membantu kita melaju cepat menjadi hamba-Nya yang produktif. Tentu semua harus menepati syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak memudah-mudahkan, tidak membuat-buat aturan baru atau menjadikan aturan sebagai mainan.

Jadi, kapan kita jalan-jalan lagi?

Leave a Reply

Your email address will not be published.