YANG KREATIF YANG KOMPETITIF

Hampir setiap hari saya bergelut dengan gagasan, karena tidak banyak yang kami jual dalam bentuk produk yang bisa dipegang. Memang ada majalah, billboard, DVD film, marketing tools dan sebagainya yang terlihat secara visual tapi sejatinya semua berawal dari ide dan olahan kreatif menjadi sebuah pesan. Kreativitas kini tak hanya menjadi sebuah hobi iseng pengisi waktu namun telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi baru. Itulah ekonomi kreatif.

Ada 14 rumpun ekonomi kreatif yang bisa kita kembangkan. Setidaknya jika mengacu pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, yaitu :

1. Periklanan;

2. Arsitektur;

3. Pasar Seni dan Barang Antik;

4. Kerajinan;

5. Desain;

6. Fashion (Mode);

7. Film, Video, Dan Fotografi;

8. Permainan Interaktif;

9. Musik;

10. Seni Pertunjukan;

11. Penerbitan dan Percetakan;

12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak;

13. Radio dan Televisi;

14. Riset dan pengembangan.

Beberapa pengamat menyebut ekonomi kreatif sebagai fourth wave industry (industri gelombang keempat), setelah era pertanian, era industri dan era informasi. Inilah energi terbarukan yang kini sangat mempengaruhi kehidupan kita bahkan peradaban suatu bangsa. Mari Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengatakan, Indonesia merupakan negara pertama yang memiliki kementerian  menangani ekonomi kreatif berbasis sumber daya manusia. “Kelangsungan ekonomi kreatif adalah tanpa batas,  tidak seperti industri yang berbasis sumber daya alam.”

Saya rasa bangsa kita diberikan anugerah lebih oleh Allah di bidang ini. Betul bahwa kita mungkin kurang terlalu canggih di bidang teknologi, tapi rasanya semua potensi kreatif telah mengakar kuat dalam tradisi kita tentu dengan keanekaragaman budayanya. Pertanyaannya kan mengapa potensi kreatif tersebut belum cukup berkembang secara ekonomi? Menurut Wapres Boediono ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan, antara lain terkait kurangnya kuantitas dan kualitas SDM kreatif, kurangnya perlindungan HAKI, infrastruktur teknologi informasi yang belum kompetitif, dukungan pembiayaan yang belum lancar. Juga iklim usaha yang belum mendukung tumbuhnya pelaku usaha kreatif baru, kurangnya apresiasi terhadap karya dan insan kreatif, akses pasar yang belum menggembirakan, sampai kepada permasalahan ketidaksinkronnya kebijakan di tingkat pusat dan daerah.

Saya dan tim memilih untuk bertarung dalam industri ini, dalam sebuah pertemuan besar para entrepreneur sungguh saya melihat begitu banyak teman-teman yang juga memantapkan diri memeriahkan dunia penuh imaji dan kreativitas ini. Dan yang membanggakan adalah mayoritas ANAK MUDA semua..Rasanya kita sepakat bahwa meskipun industri kreatif ini berawal dari ide untuk kemudian menciptakan peningkatan nilai tambah, namun selanjutnya yang juga sangat penting adalah mengeksekusi ide tersebut menjadi aksi, baik itu tangible maupun intangible, yang kemudian di-delivery atau dipasarkan kepada masyarakat yang ‘mengkonsumsi’nya.

Sebagai pelaku usaha, saya sepakat dengan tantangan yang disampaikan bapak Wapres Boediono, ya kita harus mampu menghadapi masalah ini, saya rasa bisa apalagi usia ekonomi kreatif kita masih cukup baru dan muda.

Demikian halnya dalam dunia filantropi, sama dan sebangun harus didukung oleh para creativepreneur. Mungkin ke depan filantropi bisa saja masuk rumpun ekonomi kreatif, karena dunia pemberdayaan di era modern seperti hari ini sudah sangat jauh berubah dari era kedermawanan tradisional yang cukuplah disalurkan ke anak-anak panti asuhan, panti jompo dan sejenisnya, walaupun itu tetap bagus juga.

Di era digital seperti sekarang, masyarakat pun ingin merasakan sensasi fun dalam berbagi, ada unsur pengemasan yang estetik baik dalam memberikan donasi maupun saat pemberdayaannya. “Ya saya mau nyumbang, tapi gaya sosialisasinya yang keren dong!”, mungkin ini customer voice yang penting didengar. Tuntutan yang sama juga ditujukan kepada organisasi pengelola zakat. Sederhananya, be creative-lah! Pemberdayaan tak hanya tepat sasaran tapi juga unik dan bernilai tambah tanpa kehilangan nilai spiritual.

Saya sadar apresiasi terhadap ide dan kreativitas apalagi orisinalitas masih belum cukup membahagiakan di negeri ini. Tapi tentu ini bukan alasan kita tak mampu memulai menjadi bangsa kreatif. Saya sudah mencoba mulai, saya happy…dan saya mengajak Anda semua merasakan happiness yang saya rasa. Selamat mencoba!

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.