Saya suka kapal. Salah satu modelnya saya pasang dalam undangan nikah yang saya desain sendiri waktu itu, sebuah kapal tradisional ukuran besar sebagai simbol sebagaimana yang sering diucapkan para tetua bahwa pernikahan adalah bahtera keluarga. Bukan berarti saya tidaksuka kapal modern atau kapal tempur, ini cuma masalah teknis saja karena kalau kapal fregat yang saya pasang di undangan khawatirnya dianggap mau ngajak perang.
Waktu kecil, kami sekeluarga tinggal di sebuah kota kecil di Kalimantan Timur dimana hampir setiap sore bapak sering mengajak kami anak-anaknya jalan-jalan di sekitar pelabuhan. Waktu itu kami sering membayangkan kapan ya bisa melancong ke pulau seberang, pernah satu atau dua kali kami berkesempatan nonton festival kompetisi perahu dayung, supaya nampak jelas kami ikut menonton dari atas balkon rumah teman bapak yang kebetulan berada di tepian sungai Berau. Seandainya umur saya waktu itu tuaan sedikit mungkin saya bisa merekam lebih banyak peristiwa tersebut, sayang setelah lulus TK saya dan keluarga pindah ke Jawa melanjutkan hidup di alam geografis yang jauh berbeda. Dari pola kehidupan khas maritim ke agraris. Dari selera kuliner yang pedas-pedas berganti ke yang manis-manis. Di Kalimantan makan udang laut ukuran jumbo bukanlah barang mewah, di Jawa alamaakk mahalnya.
Ketika orientasi geopolitik Presiden Jokowi lebih menekankan pada maritim saya sependapat. Semoga saja walaupun kita membuka pintu untuk negara lain masuk semoga kedaulatan NKRI secara politik, ekonomi dan teritorial tetap terjaga. Tentang topik ini insya Allah sudah banyak ahlinya apalagi komentatornya, di sini saya mau bahas yang ringan-ringan saja.
Dalam sebuah infografik saya menemukan fakta bahwa salah satu penemuan terpenting yang mempercepat peradaban manusia adalah roda. Kehadirannya mendorong manusia melakukan mobilitas yang lebih cepat dan luas, apalagi dengan ditemukannya teknologi ban dalam yang kemudian senantiasa berpasangan dengan lajunya inovasi transportasi darat mulai roda 2, roda 4, roda 6 dan seterusnya.
Rasa nyaman atas moda berkendara inilah yang membuat kita kemudian terlupa bahwa ada alat transportasi tak beroda yang juga tak kalah pentingnya yaitu kapal. Perkembangan pesawat udara apalagi dengan promo tarif murahnya menambah tidak elitnya naik kapal, kesannya kalau naik kapal ya karena kita sedang bokek atau pengangguran yang tak merasa penting dengan durasi, karena memang kenyataannya naik kapal hari ini tak secepat lewat jalan tol apalagi via udara. Untuk di kota besar non pesisir, naik kapal sebagai alat angkut manusia tak selalu lebih mudah. Beda mungkin di luar Jawa, dimana kapal masih menjadi pilihan utama. Seorang sahabat asal Jakarta yang sempat berdinas di Papua mengatakan, “Hidup di Jakarta tua di jalan, di Papua tua di sungai”..Lucu juga sih tapi realitasnya demikian.
Kebijakan pro maritim menurut saya tidak selalu didefinisikan dengan konversi penggunaan moda transportasi darat ke lautatau sungai karena bagaimanapun juga sudah takdirnya bangsa ini terdiri dari susunan kepulauan dan daratan. Semua opsi kendaraan menjadi wajar untuk dipilih sesuai kebutuhan. Darat, laut dan udara adalah bhinnekasumber daya untuk satu tujuan NKRI yang berdaulat dan sejahtera. Yang lebih penting adalah perubahan cara padang dari laut yang dianggap hanya sebagai batas daratan yang karenanya membuat kita jadi terbatas menjadi laut sebagai peluang manusia menciptakan kehidupan baru di saat lahan tanah makin mahal dan sempit. Mungkin kelak ada kotabaru dalam bentuk kapal besar, dimana ada kamar apartemennya, ada kantornya, ada masjidnya, ada tempat bermainnya, ada sekolahnya bahkan kalau perlu dibuat kepengurusan semacam RT dan RWnya. Bosan di satu laut bisa pindah ke laut dan pulau yang lain. Memang nanti akan bingung juga kalau nulis alamat di KTP, tapi ya semoga para pejabat pinter-pinter itu punya solusinya.
Demikian pula persepsi bahwa laut adalah bahaya karena itu tak perlu didekati dan dikuasai. Dulu mitos Ratu Pantai Selatan sengaja diusung sebagai strategi propaganda melawan penjajah agar tak mendekat ke laut tanah Jawa karena siapa yang mendekat bakal dilumat. Kecelakaan-kecelakaan di pantai Selatan juga menyangatkan mitos ini terlebih karena memang kontur pantai Selatan yang pada umumnya berjarak pantai pendek dan langsung patah ke dalam ditambah ganasnya ombak karena langsung berbatasan dengan laut lepas Samudera Hindia menambah imej bahwa lautan adalah musuh yang sering memakan korban.
Bahwa lautan selalu menyimpan bahaya tentu tak bisa dielakkan tapi berkawan pada bahaya bahkan mampu mengendalikannya sebagai teman pasti akan menjadi prestasi tersendiri. Sederhananya, orang yang takut ombak selalu berusaha mencari pantai-pantai yang landai dengan riak gelombang yang aman, seorang peselancar justru makin mencari pantai dengan gulungan ombak yang semakin besar. Kunci pertama adalah persepsi, kedua adalah latihan.
Saya mengusulkan, kurikulum sekolah memasukkan berenang sebagai satu pelajaran wajib. Kalaulah tidak wajib ya minimal sunnah muakkad, atau apalah istilahnya. Ini supaya anak didik kita akrab dengan dunia aquatik, selain tentu saja berenang adalah salah satu cabang olahraga yang paling menyehatkan. Rasulullah SAW juga mewasiatkan olahraga ini untuk dipelajari, di samping bergulat dan memanah.
Usulan saya lainnya,lebih tepatnya harapan adalah tolong harga ikan jangan terlalu mahal. Apalagi untuk orang seperti saya karena alasan kesehatan harus sangat membatasi konsumsi daging. Lalu bagaimana supaya bisa murah? Industri perikanan dan kelautannya harus diperbaiki. Nelayan kita sebenarnya juga tak ambil untung banyak, masalahnya adalah karena miskin banyak mereka yang terjerat rentenir yang umumnya adalah para agen pembeli ikan atau pengusaha menengah-besar. Akibat utangnya nelayan harus menjual ikannya hanya kepada mereka, tidak bisa kepada pembeli lain. Harga pun dikunci. Agen-agen ini kemudian menjual ke pasar dengan harga tinggi ke konsumen. Pengusahanya kaya nelayannya tetap miskin.
Kemampuan kapal nelayan juga harus menjadi perhatian serius ibu menteri baru. Karena kapalnya kecil, mesinnya kecil, BBMnya terbatas, tidak dilengkapi mesin freezer yang modern, membuat nelayan tidak bisa melaut terlalu jauh dan terlalu lama. Ekonomi nelayan jadi jalan di tempat, produktivitas tetap rendah. Di sisi lain kapal-kapal modern asing mampu berlayar di area fishing ground jauh di lepas pantai, hasil tangkapan pun bisa jauh lebih besar. Sayangnya yang marak terjadi adalah illegal fishing alias penjarahan. Dulu yang dijarah adalah jenis ikan-ikan konsumsi, sekarang makin marak penjarahan ikan-ikan hias jenis langka bernilai ekonomi sangat tinggi. Sebagai pelengkap berikut saya tambahkan satu link tulisan bernasdari Prof Rokhmin Dahuri tentang mengapa nelayan kita masih miskin, http://rokhmindahuri.info/2012/10/10/akar-masalah-kemiskinan-nelayan-dan-solusinya/ .
Terakhir, saya berharap Angkatan Laut TNI kita makin berwibawa, makin diperbanyak dan diperkuat. Anak-anak muda pun makin tertarik menjadi marinir, kalau yang dikejar adalah karir toh panglima TNI juga tak lagi didominasi dari satuan Angkatan Darat. Saya yakin kalau kita serius, kita bisa.