Saya sempat merenung, mengapa Ramadhan dan Idul Adha ini berjarak cukup rapat waktunya? Tentu saja kalau jawabannya takdir Allah ya selesai sudah, atau ya karena dari sononya sudah demikian adanya. Jika Anda sempat terlibat bersama para amil Rumah Zakat pasti dua momentum ini adalah 2 puncak utama kesibukan dalam setahun. Belum selesai laporan Ramadhan eh harus segera menyiapkan diri untuk melayani masyarakat dalam berqurban. Mbok ya Qurbannya jangan mepet-mepetlah, 3 bulan kek atau malah 6 bulan saja setelah Idul Fitri…tapi apakah bisa demikian? Jelas tak mungkin. Maka daripada mengeluh, mari kita cari hikmahnya.
Mungkin saya dan Anda berbeda kadar penemuan hikmahnya. Kalau menurut saya, Idul Adha ini sesungguhnya satu peristiwa besar yang harus disiapkan landasan runaway-nya sejak Ramadhan. Sebagaimana Ramadhan yang Rasulullah SAW sendiri meminta kita sudah siap sejak 3 bulan sebelumnya. Biasanya kita, tentu saya juga ada di dalamnya, lebih memandang Idul Adha sebagai sebuah peristiwa hari raya dengan ritual penyembelihan qurban di sana. Antusiasmenya kalah meriah dibanding Idul Fitri. Secara tradisi sebenarnya kita sudah sadar bahwa Dzulhijjah adalah bulan Besar (dalam penanggalan Jawa), orang Sunda sering menyebutnya Rayagung, hari raya Agung atau Besar. Sayang kenyataannya yang ramai justru acara pernikahan dan hajatan. Memang bulan inilah gedung-gedung nikahan ramai terpesan, berikut traffic perusahaan catering dan tak lupa para pegawai KUA. Semua adalah berkah, hari bahagia. Tak ada yang salah.
Sudut pandang yang ingin saya angkat dalam tulisan ini adalah ketika kita bisa memahami sedikit lebih mendalam tentang Idul Adha maka sungguh kita akan menyambutnya dengan sangat-sangat gembira. Mengapa harus menggunakan penyangatan? Karena disinilah momentum 2 puncak ibadah diselenggarakan yaitu Haji dan Qurban. Ketika umroh saja saya sudah begitu tergetar di baitullah apalagi haji. Dan inilah event terakbar sejagat raya. Coba cari event apa yang lebih akbar dari Haji? Konser musik king of pop? King of rock? Motivator paling papan atas? Dimanakah camping ground terbesar yang menandingi Arafah? Dalam satu waktu yang sama, dalam warna yang sama, diikuti seluruh penduduk dunia? Allahu Akbar..
Beragam event sedikit banyak telah pernah saya kelola. Tapi sungguh tak ada seujung kukunya dari event haji ini, baik dari skala pesertanya, luasnya, periode waktu, pemondokannya, makannya, armada kendaraannya, dan sebagainya. Saya yakin Allah lah EO-nya, Allah malu jika tak mampu memuliakan para tamu yang berkunjung ke rumah-Nya. Benar ada pemerintah Arab Saudi, ada kementerian Agama kalau di negara kita, tapi saya yakin Allah lah yang mengatur semuanya. Lalu mengapa kita masih menganggap Idul Adha biasa saja?
Event kedua juga tak kalah akbarnya, Idul Adha. Saya menemukan beberapa opini yang menyatakan, sudah lah daripada buat menyembelih hewan qurban mending uangnya dikumpulkan saja sebagai dana santunan kemiskinan, toh bisa sampaian ratusan bahkan trilyunan rupiah jika dikumpulkan senegara. Tepatkah demikian? Kalau haji memang disarankan untuk digilirkan, cukuplah sekali supaya yang lain kebagian apalagi sekarang ngantri berangkat haji bisa sampai 7 tahunan, bahkan lebih. Allah pasti menyimpan hikmah dalam setiap ibadah yang disyariatkan kepada kita umat-Nya. Jika hikmah itu belum terketemukan mari kita perdalam penggaliannya. Rumah Zakat misalnya, mencoba mengolah hikmah qurban melalui optimalisasi daging menjadi cadangan pangan. Lahirlah program Superqurban, dimana daging qurban dimaksimalkan kemanfaatannya dengan dikornetkan. Pasti masih banyak ikhtiar yang bisa kita cari untuk memberikan nilai tambah untuk Idul Adha ini.
Sebuah pertanyaan unik pernah disampaikan juga seorang guru, mengapa gajah, harimau, dan hewan-hewan besar lainnya terancam punah, padahal jumlah yang mengkonsumsinya pasti jauh lebih sedikit daripada ayam, bebek, sapi dan unggas lainnya? Kata sang guru, “Karena hewan-hewan ternak itu bersedia berkorban untuk dimakan manusia. Maka Allah sediakan ganti populasinya dengan sama atau bahkan lebih banyak jumlahnya.” Pesannya adalah insya Allah tak ada yang perlu disesalkan ketika kita memberikan yang terbaik dalam berqurban, dalam melakukan kedermawanan, dalam berbagi pada orang lain, dalam kebaikan kita pada alam dan seterusnya. Benar kita telah kehilangan, tapi dengan mengorbankan milik kita, niscaya akan Allah berikan ganti yang lebih baik.
Saya selalu meyakini hal itu dan mencoba menyesuaikan antara ucap dan laku. Trust me, it works!